Sekapur Sirih

Jalan ke Baduy, Memperbincangkan Sapri Si Ganteng Kalem Bak Artis Sinetron dari Baduy Dalam

Sapri, Si Ganteng Kalem dari Baduy Dalam, jadi perbincangan rombongan perempuan pengunjung kampung Baduy dalam yang menginap di rumahnya.
Sapri, Si Ganteng Kalem dari Baduy Dalam, jadi perbincangan rombongan perempuan pengunjung kampung Baduy dalam yang menginap di rumahnya.

Saya, Andi Sahrandi –koordinator Posko Jenggala, dan Andi Kim –ketua rombongan dari Merdeka Hiking Club (MHC)– hendak ke sungai di belakang rumah Sapri, Ahad (28/5/2023) pukul 05.00 WIB. Di belakang rumah, Sapri sedang membakar sisa-sisa kayu. Kami pun menghangatkan badan di perapian bersama Sapri.

“Kalau dini hari hawa di sini dingin. Namanya tanggal kidang,” kata Jaro Tangtu Kampung Cibeo, Sarmi, malam sebelumnya ketika berbincang dengan kami di rumah Sadim. Udara dingin dinihari itu di Jawa disebut bedhidhing. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada jalad --hawa yang lebih dingin dari tanggal kidang dan bedhidhing pada dini hari-- untuk menyebut hawa dingin yang bisa membekukan air.

Oohya! Baca juga ya:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Berkunjung ke Baduy, Sebaiknya Beli Tongkat Kayu dari Anak-Anak Baduy

Jalan ke Baduy, yang Mau Minum Silakan di Bacok

Kami yang laki-laki menginap di rumah Sadim, sedangkan rumah Sapri --yang memiliki nama KTP Sarkim-- kebagian diinapi oleh rombongan perempuan. Rombongan kami hampir 50 orang. Dua rumah --salah satunya rumah Sapri-- diinapi rombongan perempuan, tiga rumah diinapi rombongan laki-laki.

Dengan memiliki KTP, Sarkim bisa membuka rekening, sehingga orang-orang yang membeli produk kerajinan atau madu atau durian, bisa mentransfernya ke rekening dia. Yang membuat KTP biasanya mereka yang suka bepergian, sehingga KTP diperlukan di perjalanan. Jumlahnya tak sampai 30 persen dari jumlah penduduk Cibeo.

Sapri (tengah dengan ikat kepala putih tangan mengepal di dada) diajak foto bersama oleh rombongan perempuan yang berkunjung ke Baduy dalam.
Sapri (tengah dengan ikat kepala putih tangan mengepal di dada) diajak foto bersama oleh rombongan perempuan yang berkunjung ke Baduy dalam.

Sapri ini perawakannya ganteng, pembawaannya kalem, sehingga ketika memperbincangkan Sapri, rombongan perempuan yang menginap di rumahnya menyebutnya Si Ganteng Kalem. Selama mereka tinggal di rumah Sapri, banyak hal ditanyakan ke Sapri. Karena kegantengannya itu, mereka menggoda dengan pertanyaan soal godaan untuk menikah lagi, sehingga harus menceraikan istri. Kata Sapri, bercerai itu menyakiti, sehingga itu pantang dilakukan. Nilai adat yang patut ditiru masyarakat luar Baduy.

Mereka juga menanyakan jika di keluarga ada masalah, seperti sakit, karena Cibeo jauh dari puskesmas. Sapri menjawab, dia sebagai laki-laki bertanggung jawa semuanya atas hal yang terjadi pada keluarganya. Jika istri sakit, Sapri yang bertanggung jawab untuk memberinya obat-obatan herbal agar segera sembuh.

Dua jawaban dari Sapri ini, membuat rombongan perempuan yang menginap di rumahnya, sangat kagum pada Sapri. Ganteng, kalem, dan betanggung jawab. Jaro Tangtu yang bertanggung jawab terhadap masalah adat di Baduy Dalam, menyebutkan, bagi orang Baduy, menikah itu hanya sekali untuk selamanya. Sejak kecil sudah dijodohkan oleh orang tua, tetapi ketika di usia 16 tahun mereka akan ditanya lagi: bersedia dengan yang sudah dijodohkan atau minta cari jodoh lain.

Rata-rata, ketika sudah remaja pun menerima perjodohan itu. Sadim melengkapi penjelasan Jaro Tangtu. “Jika berubah pikiran, orang tua mencarikan jodoh baru, tapi itu tidak terjadi jika sama-sama dari Baduy dalam. Jika kemudian mereka mencari dari Baduy luar, setelah menikah mereka tinggal di kampung Baduy luar,” jelas Sadim.

Priyantono Oemar