Jalan ke Baduy, yang Mau Minum Silakan di Bacok
Sampai di Cijahe bertemu Sarkim. Dia memulai pembicaraan mengenai tempat minum yang saya bawa dari kampung Sarkim, Cibeo. Saya bilang, bacok dalam bahasa Jawa artinya memukulkan golok tajam ke benda.
Sarkim pun kemudian mengucap dalam bahasa Sunda, yang artinya, "Yang mau minum silakan dibacok." Saya memahami kalimat Sarkim. Ia ingin menunjukkan masalah bahasa dari budaya yang berbeda yang bisa memunculkan kesalahpahaman. Maka kami pun tertawa.
Bacok bagi masyarakat Baduy adalah tempat minuman, bisa juga untuk minuman panas, terbuat dari bambu. Kalimat Sarkim tentu bukan ditujukan untuk rencana membacok orang yang akan minum. Dalam bahasa tulis, kalimat Sarkim tentu saja: Yang mau minum silakan di bacok. Maksudnya, minumannya ada di wadah yang namanya bacok.
Saya mendapatkan bacok dari Sadim. Saya tertarik sejak awal lihat, ketika baru tiba di rumah Sadim. Di sana sudah ada Andi Sahrandi, koordinator Yayasan Kemanusiaan Posko Jenggala. Teh disuguhkan ke Andi di dalam bacok itu.
Harris Harlianto, embriolog, yang tiba bersama saya menuangkan air teh ke somong (gelas dari bambu) dengan cara membuka tutup bacok. Sani, istri Sadim, serta-merta mengingatkan tidak perlu membuka tutup untuk menuang teh dari bacok. Di dua sisi mulut bacok ada lubang kecil sebagai pintu keluar air teh.
Sadim menjelaskan, bacok merupakan alat tradisional masyarakat Baduy. Bacok sudah digunakan secara turun-temurun. Bahannya dari bambu.
Untuk mengambil air dari sungai, masyarakat Baduy juga menggunakan alat dari bambu, namanya kelek. Bambu dua ruas, di dekat salah satu ruas diberi dua lubang kecil.
Oohya! baca juga ya: Berkunjung ke Baduy, Sebaiknya Beli Tongkat Kayu dari Anak-Anak Baduy
Priyantono Oemar