Ini Foto-fotonya. Dikritik oleh Komunis, Halal Bihalal Tetap Diadakan oleh Presiden hingga PWI
Koran Komunis, Suara Rakjat, pada 1951 mengkritik acara halal bihalal. Koran itu menyebutnya sebagai kebiasaan buruk di zaman penjajahan Belanda, karenanya harus dihentikan. Koran itu juga menyebut banyaknya anggaran untuk acara halal bihalal tidak berdampak positif bagi ekonomi rakyat. Rakyat hanya menjadi penonton.
Oohya! Baca juga ya: Lebaran, Koran Suara Rakjat Dulu Kritik Acara Halal Bihalal Ataupun Gelar Griya
Meski dikritik pedas seperti itu, halal bihalal selalu digelar setiap tahunnya. Ini adalah acara silaturahim setelah Lebaran untuk saling memaafkan.
Di Istana Negara, Presiden Sukarno selalu mengadakan halal bihalal. Masjid Istiqlal juga mengadakan halal bihalal. Halal bihalal di Taman Wijayakusumah yang diadakan Masjid Istiqlal pada 1957 dihadiri Presiden Sukarno beserta beberapa menteri, mantan menteri, dan pimpinan DPR.
DPR juga mengadakan halal bihalal. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga mengadakan halal bihalal. Pada 1955, merupakan tahun keempat PWI mengadakan halal bihalal. Tahun itu diadakan di Hotel Des Indes dengan hiburan Opera Komedi Stambul Miss Riboet. Hadir antara lain Sekjen kementerian penerangan Harjoto, Wali Kota Jakarta Soediro, anggota DPR, dan atase-atase pers kedutaan negara sahabat.
Sekjen Harjoto menyampaikan informasi mengenai rancangan UU Pers yang siap diajukan ke DPR. Wali Kota Soediro membahas kantor PWI dan berharap PWI segera memiliki gedung kantor sendiri.
Halal bihalal DPR pada 1955 dihadiri Wapres Moh Hatta, para menteri, anggota DPR, dan kalangan pers. Ketua DPR Sartono membahas hubungan baik parlemen dan pers. Parlemen dan pers sama-sama memiliki tujuan demokrasi. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengaku senang parlemen, pemerintah, dan pers bertemu dalam halal bihalal ini. Meski sering berbeda pendapat, kata Ali, "Saya yakin bahwa kita semua memiliki tujuan yang sama, yaitu kebaikan bersama."
T Sjahril dari PWI menyinggung soal rancangan UU Pers yang akan segera diajukan ke DPR oleh pemerintah. Ia menilai, UU Pers akan meletakkan landasan yang lebih kokoh untuk menjamin kebebasan pers di Indonesia dan untuk meningkatkan hubungan yang lebih progresif antara pers dan pemerintah, pers dan parlemen, serta pers dan masyarakat.
Priyantono Oemar