Lincak

Lebaran Muhammadiyah, Shalat Id di Tanah Lapang Dulu Dipersulit Pemerintah Kolonial

Presiden Jokowi melaksanakan Shalat Idul Fitri 1439 H di Lapangan Astrid, Kebun Raya Bogor, pada 2018. Dulu, pemerintah kolonial mempersulit izin shalat Id di tanah lapang (foto: putra m akbar/republika).
Presiden Jokowi melaksanakan Shalat Idul Fitri 1439 H di Lapangan Astrid, Kebun Raya Bogor, pada 2018. Dulu, pemerintah kolonial mempersulit izin shalat Id di tanah lapang (foto: putra m akbar/republika).

Menteri Agama Yaqut Cholil Qaoumas dan Menko Polkam Mahfud MD sampai turun tangan meminta pemerintah daerah (pemda) agar mengizinkan penggunaan lapangan publik yang dikelola pemda dipakai Shalat Id pada Jumat (21/4/2023). Mereka perlu menyatakan itu karena ada pemda yang menolak penggunaan lapangan publik digunakan shalat Id pada Jumat. Alasan penolakannya karena pemerintah belum mengumumkan Idul Fitri.

Akhirnya, dua pemda yang semula menolak, lantas memberikan izin. Yaitu Pemkot Pekalongan dan Pemkot Sukabumi, sehingga Muhammadiyah perlu menyampaikan rasa terima kasihnya kepada wali kota dua Kota itu.

Oohya! Baca juga: Lebaran, Rakyat dan Pemerintah Apakah Juga Harus Saling Memaafkan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada awal 1930-an, permintaan izin shalat di tanah lapang juga dipersulit oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Izin baru diberikan pada Lebaran 1934. Untuk pertama kalinya, sekitar 1.000 Muslim di Batavia melaksanakan shalat Id di Batavia dilakukan di tanah lapang belakang Stasiun Kereta Kramat, tepatnya di lapangan Kepanduan bangsa Indonesia (KBI). De Indische Courant edisi 21 November 1939 menyebut shalat di tanah lapang sebagai demonstrasi “dalam diam” sekaligus ekspresi ibadah keagamaan yang didasari oleh sikap nasionalistik --jika tak boleh disebut sikap politik.

Koran Pemandangan edisi 19 Januari 1934 memuat foto dengan judul “Sembahjang Lebaran”. Dibandingkan dengan jumlah Muslim di Jakarta, seribu orang yang ikut shalat Id di tanah lapang itu tentu sangat sedikit. Tapi, itu dimaklumi karena tidak semua mengetahui adanya shalat Id di tanah lapang itu, meski koran Pemandangan telah mengumumkan rencana itu.

Pengumuman yang dimuat di Pemandangan edisi 16 Januari 1934 berbunyi sebagai berikut:

Sembahjang ‘Aidilfitri ditanah lapang

Belakang Halte S.S.

Kramat Gang Tengah

Pengoeroes Moehammadijah tjabang Djakarta minta kita moeatkan seroean kepada sekalian kaoem Moeslimin penduduk Djakarta, soepaja membesarkan sji’ar Islam dengan mengoendjoengi sembahjang ‘Aidilfitri ditanah lapang terseboet.

Diperingatkan poela, karena Comite tidak menjediakan tikar, maka diharap orang-orang akan membawa alas (tikar) sembahjang sendiri2.

Comite telah menjediakan pesawat “luid spreker” setjoekoepnja, soepaja choetbah dihari itoe dapat didengar dengan terang oleh segenap jg. hadir.

Djam 6 pagi dan djam 8 sewaktoe hendak sembahjang, akan diberi tanda dengan letoesan bom.

Moedah-moedahan sekalian oemmat Moeslimin di ini kota soedi memperhatikan kiranja.

(SS adalah Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik negara).

Yogyakarta lebih dulu bisa mengadakan shalat Id di tanah lapang, yaitu pada 1927. Pun ada 10 ribu jamaah yang ikut shalat. Demikian laporan De Locomotief edisi 5 Januari 1935.

Priyantono Oemar

Berita Terkait

Image

Halal Bihalal Pernah Diadakan oleh Kalangan Katolik, Kata Itu Kapan Muncul?

Image

Dari 69 Penerima SNI Award Ada Dua Universitas Muhammadiyah, Kampus Anda Dapat Juga?

Image

Halal Bihalal Dulu Disebut Alal Bahalal, Organisasi Katolik Juga Adakan Alal Bahalal untuk Rayakan Natal

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com