Informasi Apa yang Disalahgunakan oleh Polisi yang Wartawan untuk Kepentingan Intelijen?
![Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo (foto: dokumentasi humas polri/republika).](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/qbj0pr5p0e.jpg)
Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
Munculnya kasus polisi bernama Umaran menyamar menjadi wartawan dikecam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI menyebut praktik semacam itu bisa memunculkan ketidakpercayaan publik kepada pers. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pun memecat wartawan yang polisi itu, karena tercatat sebagai anggota PWI.
Pada 1998 saat demo mahasiswa mulai marak, yaitu demo untuk menggulingkan Soeharto, banyak intel yang menyamar sebagai wartawan, tetapi mereka tidak bergabung dalam oganisasi wartawan dan juga tidak terdaftar sebagai wartawan suatu media.
Untuk membuat catatan, mereka sering meminta bantuan wartawan, karena setiap hari sering disemprot atasannya, karena data yang mereka laporkan ke kantor selalu berbeda dengan yang keluar di media. Terutama soal jumlah mahasiswa yang ikut demo. Mereka melaporkan 100, di berbagai media massa ditulis 500-an orang. Mereka menulis 500-an orang, di media ditulis 1.000-an orang. Jadi hampir tiap hari mereka disemprot atasan, sehingga mereka selalu mendekati wartawan untuk bertanya jumlah peserta demo yang dicatat oleh wartawan.
Wartawan memiliki perhitungan sendiri dengan berpatokan pada luas area demo yang terisi massa dan panduan jumlah orang yang bisa ada di area satu meter persegi: di angka 4-5 orang per meter persegi. Itu saja belum cukup, dis etuap demo selalu saja ada mahasiswa yang berteduh di bawah pohon atau di kios pedagang, atau di emperan gedung. Mereka tersebar dan banyak. Nah ini biasanya dibuat kesepakatan baru, mengenai jumlah mereka yang tersebar itu.
Setelah mereka akrab dengan wartawan, sehingga mendapat jumlah pendemo yang sesuai dengan yang akan ditulis wartawan, mereka lega. Sejak itu mereka tak lagi disemprot atasan. Tapi mereka menyamar ya sebatas menyamarkan penampilan, tidak masuk perusahaan pers, tidak masuk organisasi wartawan, sehingga mereka tidak menyalahi kode etik wartawan, karan mereka memang bukan wartawan.
Kasus di Blora, Jawa Tengah, intel polisi ini mendaftar menjadi koresponden media, menjadi anggota PWI dan bahkan dapat sertifikasi dari uji kompetensi wartawan. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menegaskan penyamaran polisi dalam tugas merupakan kelaziman di dunia. Selama polisi Umbaran yang menjadi wartawan di Blora belasan tahun juga tidak mencederai kebebasan pers. Polisi yang menjadi wartawan itu kejadiannya di Blora Jawa Tengah. Kebebasan pers di Jawa Tengah, kata Dedi, baik-baik saja.
Tentu pokok persoalannya bukan di “kebebasan pers yang baik-baik saja”. Tetapi pada praktik mencari informasi untuk kepentingan intelijen dengan menjadi wartawan. Sebab, setelah mengumpulkan informasi, wartawan tidak boleh menyalahgunakan informasi itu. Tidak boleh digunakan untuk penetingan lain selain untuk kepentingan jurnalistik.
Jika polisi yang wartawan itu menyalahkangunakan profesi wartawan, yaitu mengumpulkan informasi lewat kerja jurnalistik untuk kepentingan intelijen. Di sinilah praktik yang “tidak baik-baik saja”. Jadi, yang perlu dijelaskan oleh polisi adalah: selama belasan tahun menjadi wartawan, informasi apa saja yang dikumpulkan polisi Umbaran untuk kepentingan intelijen?
Namun, organisasi wartawan juga perlu melakukan pembenahan. Sebab, saya mempunyai beberapa teman semasa mahasiswa dulu, lalu setelah menjadi pengacara, mereka menunjukkan kartu wartawan yang mereka dapatkan dari organisasi wartawan.
Priyantono Oemar
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/2dcba3833a408c306a7f37165f038a2a.jpeg)