Naik Haji, Ibu Tien Soeharto Dikhawatirkan Kena Lemparan Batu dari Belakang
Juni
Pada Juni 1991, Ibu Tien Soeharto naik haji bersama Presiden Soeharto dan keluarga. Wukuf jatuh pada 21 Juni 1991, rombongan Presiden Soeharto berangkat pada 16 Juni 1991.
Setelah puncak haji Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto berkesempatan mencium Hajar Aswad dan diberi kesempatan masuk Ka'bah. Pada saat lontar jumrah, Ibu Tien Soeharto disarankan agar tidak melontar dari dekat 'sumur' tiang jamarat.
"Anak saya mengatakan jangan dekat-dekat sumur, nanti kena batu dari orang-orang yang melempar dari belakang," kata Ibu Tien Soeharto di buku Siti Hartinah Soeharto, Ibu Utama Indonesia yang terbit pada 1992.
Oohya! Baca juga ya:
Benarkah Ibu Tien Soeharto Ikat Janji dengan Nyi Roro Kidul?
Ibu Tien Soeharto mengisahkan, pelontaran jumrah berjalan dengan lancar. Sebelumnya ia bahkan disarakan agar tidak ikut pelontaran jumrah, cukup diwakilkan saja karena padatnya jamaah.
Yang mengusulkan saran itu adalah Mensesneg Moerdiono. Moerdiono mengkhawatirkan kondisi Ibu Tien Soeharto yang sudah berusia 68 tahun dan Presiden Soeharto sudah berusia 70 tahun.
Tapi ibu Tien Soeharto menolak saran itu. Alasannya, sudah berada di Mina kok harus diwakilkan.
"Kalau diwakilkan lebih baik tidak usah datang saja. Jadi biarpun bagaimana beratnya, melakukan sendiri akan lebih afdol," kata ibu Tien Soeharto.
Oohya! Baca juga ya:
Orang Melayu Bukan Penduduk Asli Malaysia, dari Sumatra Ternyata
Beruntung, pada kesempatan lontar jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijah dini hari, pelataran jxmarat masih sepi jamaah. Hal itu membuat mereka leluasa melontar jumrah Aqabah mrnggunakan batu kerikil yang diambil dari Muzdalifah.
"Baik Pak Harto maupun Ny Tien dan seluruh keluarga melakukan sendiri pelontaran jumrah, tanpa mewakilkan," tulis buku Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto yang terbit pada 1994.
Setelah melontar jumrah Aqabah, rombongan meneruskannya ibadah haji dengan melakukan tawaf ifadhah, sai, dan tahalul. Mereka kemudian beristirahat di Royal Guest House.
Selama di Mina untuk melanjutkan jadwal lontar jumrah itu, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto tinggal di perkemahan Kerajaan. Selama di Mina untuk melempar batu saat melontar jumrah, mereka tinggal di wisma tamu kerajaan.
Pada Mei 1991, sebulan sebelum berangkat haji, Presiden Soeharto menyatakan ingin naik haji sebagai warga biasa. Ia ingin tinggal di pondokan yang disediakan untuk haji Indonesia, pada saat di Arafah dan Mina juga tinggal di tenda haji Indonesia.
Tapi selama di Makkah, tinggalmya di Royal Guest House di sisi Masjidil Haram. Ketika di Mina, tinggalmya juga di wisma tamu kerajaan.
Oohya! Baca juga ya:
Potensi Konflik Horizontal di Tambang Ormas Keagamaan
Hanya di Arafah Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto bisa tinggal di perkemahan haji Indonesia. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Mendengar keinginan Presiden Soeharto untuk berbaur dengan jamaah haji Indonesia, Menteri Agama Munawir Sjadzali yang menjadi amirul haj mengadu kepada Menteri Haji dan Wakaf Arab Saudi, Abdul Wahab Abdul Waise. Itu dia lakukan pada saat bertemu di Kairo.
Menteri Haji Arab Saudi menyatakan, selama berada di Arab, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto akan menjadi tamu kerajaan. Rupanya, Menteri Haji melaporkannya kepada Raja Arab Saudi Fahd bin Abdul Azis
Raja Fahd pun mengirimkan undangan kepada Presiden Soeharto untuk menjadi tamu Raja Arab Saudi Fahd bin Abdul Aziz. Raja Fahd meminta Presiden Soeharto agar kesemapatan naik haji ini digunakan juga sebagai kunjungan kenegaraan.
Maka, begitu tiba di Makkah, Royal Guest House sudah siap untuk menerima Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Selxma di Makkah, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Sodharto beserta rombongan diberi kesempatan masuk Ka'bah.
"Di dalamnya gelap, saya bersembahyang sunah di dalam Ka'bah ke arah empat jurusan. Saya lihat seperti ada tiang-tiang tapi tak jelas bentuknya," kata Ibu Tien Soeharto.
Ibu Tien mengaku dangat berbahagia dalam perjdlanan haji ini. Ia tidak bisa menangis seperti pada saat umrah pada 1977.
"Bahagia sekali," kata *bu Tien Soeharto.
Ma Roejan