Orang Melayu Bukan Penduduk Asli Malaysia, dari Sumatra Ternyata
Pernah ada utusan orang Melayu dari Semenanjung Malaka yang datang di Jakarta yang meminta agar Semenanjung Malaka dimasukkan ke dalam bagian dari wilayah yang akan dimerdekakan oleh banga Indonesia. Mereka datang pada saat BPUPKI bersidang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Penduduk Semenanjung Malaka saat itu adalah orang-orang Melayu. Namun, orang Melayu bukanlah penduduk awal Semenanjung Malaka yang sekarang bagian dari negara Malaysia.
Orang Melayu dari Sumatra datang di Semenanung Malaka, karena mereka lebih pandai dari penduduk awal, maka orang-orang Melayu inilah yang kemudian berkuasa. Lalu bangsa apa yang menjadi penduduk awal Semenanjung Malaka yang juga dikenal sebagai Semenanjung Malaya itu?
Oohya! Baca juga ya:
Potensi Konflik Horizontal di Tambang Ormas Keagamaan
Penduduk awal ini dijuluki sebagai waris darat. Mereka tinggal tinggal di hutan-hutan.
Kehadiran mereka menjadi wajib setiap ada penobatan raja Melayu di Negeri Sembilan dan Pahang. Jika tiada hadir waris darat itu, kata Isma’il bin Hadji Abdoe’llah Oemar Effendi di buku Melawat ke Melaka 1920 dan 1921, “Maka tiadalah boleh ditabalkan. Demikian adatnya.”
Melayu berasal dari bahasa Hindi malay yang artinya bukit-bukit. Orang Hindu itulah yang mula pertama mendatangi bukit-bukit di Semenanjung Malaka itu.
Maka, Semenjanung Malaya itu mula pertama disebut sebagai negeri bukit-bukit, malay naldu. “Dari kata malay itu jadilah melayu,” kata Isma’il bin Hadji Abdoe’llah Oemar Effendi.
Ketika menyampaikan gagasannya di sidang BPUPKI, Muh Yamin menyertakan Semenanjung Malaya sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang akan dimerdekakan. Yaitu Negeri Sembilan dan empat negeri lainnya.
Oohya! Baca juga ya:
Jamaah Haji Padat, Bisa Kesulitan Oksigen di Depan Hajar Aswad
Yang dimaksud empat negeri lainnya adalah Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis. Tanah Malaya (Negeri Sembilan) dan empat negeri lainnya di Semenanjung Malaya itu, menurut Yamin, sangat layak masuk sebagai wilayah Indonesia, sebelum mereka merdeka menjadi Malaysia pada 1957.
“Kedua daerah ini ialah tanah Indonesia asli dan penduduk aslinya ialah bangsa Indonesiasejati,” kata Yamin dalam pidatonya di BPUPKI pada 31 Mei 1945.
Bagi Yamin, mempersatukan Malaya dan Indonesia akan menguatkan kedudukan Indonesia dalam pergaulan internasional sebagai negara yang berdaulat. Pada 31 Mei 1945 itu, Yamin menyebut datang aspirasi dari Malaya mengenai keinginan orang-orang Malaya bergabung dengan Indonesia, yang disampaikan secara tulus dan ikhlas.
“Menurut pendapatan dan pendirian saya, maka sekaranglah kesempatan yang sebesar-besarnya seluruh Tanah Melayu (Semenanjung Malaka) kembali bersatu bersama-sama penduduknya dengan negara persatuan Indonesia,” kata Yamin.
Orang Melayu di Semenanjung Malaya itu beragama Islam. Wilayah mereka berbatasan dengan Thailand. Yamin lalu menyeru agar Tanah Malaya lebih baik dimasukkan ke Indonesia daripada digabungkan ke Thailand yang penduduknya beragama Buddha.
Orang Melayu di Semenanjung Malaya, Malaysia, itu beragama Islam. Dari Sumatra mereka datang di Semenanjung Malaya pada abad ke-15. Mereka berbeda dengan orang waris darat, yaitu bangsa Sakai yang beragama Hindu, yang lebih dulu ada di Semenanjung Malaya.
Oohya! Baca juga ya:
Kerugian Kompeni dan Perang Jawa Ditutup Berlipat Lewat Tanam Paksa
“Seluruh Tanah Malaya saya ketahui hendak bersatu dengan daerah yang delapan. Di manakah suara Tuan Haji Agus Salim, anak Riau Semenanjung Malaka; Tuan Dahler yang telah minum air Minangkabau Tanah Bangkinang; Tuan Liem Koen Hian, anak Banjar pengembaraan Sumatra; keluarkanlah pendapat Tuan-tuan,” kata Yamin dalam Himpunan Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI.
Yang dimaksud Yamin sebagai daerah yang delapan adalah Sumatra, Jawa, Borneo, Malaya, Selebes, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua. Daerah yang delapan inilah yang akan menjadi wilayah Indonesia yang akan dimerdekakan.
Tak sampai di situ Yamin mencari dukungan. Ia juga menyebut nama Parada Harahap dan alim ulama yang pernah memperjuangkan pan-Islamisme di Nusantara. Ia juga menyebut Sukarno-Hatta dan rombongan yang menemui Jepang membahas kemerdekaan Indonesia.
“Nama Tuan-tuan sangat dihargakan oleh orang Malaya, tanda persatuan. Dan Tuan penganjur Drs Muhammad Hatta dan Ir Sukarno, nama Tuan-tuan sangat harums ampai Borneo Utara, Indonesia Timur, dan seluruh Malaya, harum semerbak karena percaya akan politik kebangsaan Tuan, yang berdasarkan persatuan daerah dan bangsa, yang luas dan ikhlas. Jangan putuskan harapan Malaya, dan penuhilah angkatan muda Indonesia,” kata Yamin.
Pada 31 Agustus 1957, Semenanjung Malaya merdeka menjadi Malaysia.
Ma Roejan