Penulis Minang Ini Punya Trik Jitu Ikut Tarawih 21 Rakaat
Bulan puasa merupakan bulan penuh keceriaan bagi anak-anak di nagari dekat Danau Singkarak. Sehabis Tarawih dan tadarus Quran, menunggu waktu sahur mereka berkeliling membangunkan penduduk kampung.
Penulis Minang Muhamad Radjab bercerita, seharian mereka bermain dan baru pulang menjelang berbuka puasa. Kolak dan nasi serta lauknya sudah tersedia di meja makan untuk santapan berbuka.
Waktu Isya mereka ke surau sekaligus membawa bekal sahur. Akibat terlalu kenyang pada saat berbuka, anak-anak Minang itu tidak kuat ikut Tarawih 21 rakaat, tetapi memiliki trik jitu agar dianggap telah ikut Tarawih-Witir 21 rakaat.
Oohya! Baca juga ya:
Dislepet Kain Basah Saat Puasa, Penulis Minang: Ayah Sering Marah di Bulan Puasa
“Perut masih padat. Baru sepuluh rakaat kami sudah payah, tetapi tidak akan sembahyang tentu dimarahi ayah,” kata Muhamad Radjab.
Setelah seharian bermain anak-anak Minang akan antusias berbuka. Demikian juga Radjab.
Setelah mengambil nasi sepiring penuh, masih pula penyisihkan kolak sepiring penuh pula.
“Disisihkan karena takut kalau-kalau tidak kebagian banyak nanti,” kata Radjab.
Begitu beduk berbunyi, Radjab langsung melahap nasi. Melihat makanan banyak terhidang, Radjab bingung memilihnya. Semua ingin ia masukkan ke dalam perut.
Ibunya menyarankan agar pelan-pelan dalam berbuka, tak ia gubris. “Habis nasi, kolak saya gasak. Sudah itu cendol segelas, dan kemudian pisang raja tiga buah,” kata Radjab.
Oohya! Baca juga ya:
Rahmi tak Mau Dikubur di Samping Bung Hatta, Ini Kata Pak Harto
Tentu ia menjadi kekenyangan. Bersandar di tonggak rumah, ia longgarkan ikat pinggang.
“Habis berbuka, saya bukan bertambah kuat, melainkan semakin letih semua anggota badan saya,” kata Radjab.
Tapi ia masih harus shalat Maghrib dilanjut shalat Isya dan tarawih di surau. Di surau ia sudah mendapat tugas dari ayahnya untuk menyalakan lampu gas setiap habis berbuka.
Saat ia pergi ke surai, ia belum menjumpai orang di jalan. Sebab masih pada menyelesaikan makan berbuka mereka di rumah.
Menjelang Isya, baru orang-orang banyak datang di surau. Mereka akan menunaikan shalat Isya dan Tarawih berjamaah.
Ayah Radjab menjadi imam Tarawih. Radjab dan teman-temannya mengambil barisan di sebelah kanan imam.
Oohya! Baca juga ya:
Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?
Jika imam menyudahi shalat dengan menoleh ke kanan, maka sekaligus bisa melihat Radjab dan kawan-kawan. Sebelum memulai shalat pun, ayah Radjab membiasakan diri memeriksa makmumnya, termasuk Radjab dengan cara menoleh ke kiri dan kanan.
“Sebelum takbir ayah menoleh dulu ke kanan akan melihat apakah saya sembahyang atau tidak. Dilihat beliau saya berdiri dan siap akan takbir, ayah senang, lalu membaca takbir,” kata Muhamad Radjab.
Tapi begitu ayahnya selesai bertakbir, Radjab dan tiga kawannya mengambil duduk bersender di dinding surau. Mereka tidak ikut melanjutkan Tarawih.
Ketika ayahnya hendak menyudahi shalat, Radjab dan kawan-kawan segera mengambil posisi duduk tahiyat akhir. Begitu ayahnya mengucap Assalamu’alaikum dan menoleh ke kanan, Radjab dan kawan-kawannya melakukan hal serupa.
Jadi, andaikata ayah Radjab saat menoleh ke kanan itu sambil menyapu pandangan ke arah Radjab, ia akan melihat Radjab juga sedang menoleh ke kanan, seperti sedang menyudahi shalat. “Demikian kami lakukan berulang-ulang sampai sembahyang Tarawih dan Witir selesai,” kata Radjab.
Oohya! Baca juga ya:
Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?
Total jumlah rakaat Tarawih dan Witir ada 21 rakaat. Tapi Radjab hanya menunaikan Tarawih 10 rakaat lalu disambut Witir tiga rakaat.
Orang-orang dewasa yang duduk di dekat Radjab tentu mengetahui ulah Radjab dan kawan-kawan ini. Mereka tersenyum saja.
“Saya terlalu lelah, kekenyangan makan,” kata Radjab menyampaikan alasannya kepada para orang dewasa di dekatnya itu.
Orang-orang tua Minang itu menganggukkan kepala tanda maklum. “Tidak ada yang mengadukan ke ayah. Jika diadukannya pastilah kami dirotan,” kata penulis Muhamad Radjab.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928), karya Muhamad Radjab (1950)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]