Dislepet Kain Basah Saat Puasa, Penulis Minang: Ayah Sering Marah di Bulan Puasa
Jalanan gelap, surau hanya diterangi lampu gas. Dengan penerangan lampu gas itu anak-anak Minangkabau melakukan tadarus Quran selama bulan puasa pada tahun 1920-an.
Muhamad Radjab bercerita, saat berpuasa di masa kanak, lingkungan surau menjadi tempat menjauhkan diri dari ayahnya selama bulan puasa. “Sedikit saja orang lain salah, beliau naik darah; dan bila saya yang bersalah, ditampar dan dipukul,” kata penulis Minang itu.
Muhammad Radjab mengatakan, ayahnya memang pemarah. “Barangkali karena perut lapar, saraf tidak boleh tersinggung,” kata Muhamad Radjab yang pernah dislepet dengan kain basah.
Oohya! Baca juga ya:
Sambut Puasa Memotong Sapi 100 Ekor, Dua Hari Makan Sepuasnya
Meski ia sudah berusaha menjaduh, kenakalan dikurangi, ia akan dipanggilnya juga jika dirinya sekelebat dilihata oleh ayahnya. Ayahnya akan bertanya hal yang ia kerjakan dan soal puasanya.
Setiap malam, sehabis Tarawih, anak-anak di nagari pinggir Danau Singkarak itu harus bertadarus. Cukuplah berpenerang lampu gas.
Di luar bulan puasa, lampu di surau hanya lampu minyak tanah. “Kami pemuda yang memompa tank dan memasangnya. Dua lampu gas cukup menerangi seluruh surau dan halamannya,” kata Muhamad Radjab.
Anak-anak akan membawa bekal sahur dari rumah jika ingin bertadarus dan tidur di surau. Duduk melingkar bertiga puluh, mereka membaca Quran yang diletakkan di rehal di depan masing-masing.
Bantal atau bangku kecil menopang rehal-rehal itu. Guru tua membimbing mereka, membetulkan jika ada salah-salah bacaan.
Oohya! Baca juga ya:
Rahmi tak Mau Dikubur di Samping Bung Hatta, Ini Kata Pak Harto
“Malam pertama Ayah ikut menyimakkan, tetapi seterusnya bila beliau ada keinginan saja, atau untuk memeriksa apakah kami semuanya setia dan patuh tadarus,” kata Muhamad Radjab.
Yang tidak disiplin bertadarus akan sering pergi ke lepau kopi di dekat surau. Atau bahkan berkeliling kampung dan baru kembali ke surau saat waktu sahur tiba.
“Jam satu selesai orang tadarus, beduk kami pukul untuk membangunkan orang-orang kampung,” kata Muhamad Radjab.
Setelah itu keliling kampung lagi, mengetuk setiap rumah. Jika belum ada jawaban, akan diketuk terus hingga ada jawaban dari dalam rumah.
Penduduk kampung harus bangun untuk menyiapkan makan sahur. Jika sudah berkali-kali diketuk tak ada jawaban, maka beduk yang akan dipukul di depan rumah mereka.
“Kami berbuat begini bukan mengharapkan terima kasih, pujian atau pahala di akherat kelak, tetapi karena kami sangat riang dan ini kami anggap satu permainan,” kata Muhamad Radjab. Mereka baru balik ke surau setelah semua rumah bangun penghuninya.
Oohya! Baca juga ya:
Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?
Suatu malam, sehabis Tarawih, anak-anak tidak bisa langsung bertadarus karena ayah Radjab sedang bercakap-cakap dengan saudagar-saudagar di surau. Mereka bercakap-cakap di ruangan tempat anak-anak bertadarus.
“Sambil menunggu mereka pulang, kawan-kawan saya ajak main galah,” kata Muhamad Radjab.
Halaman surau menjadi ramai. Saat ramai-ramainya permainan, salah satu anak keluar dari surau, melarang mereka berbuat gadih di halaman surau.
“Dilarang oleh Engku,” kata dia.
Muhamad Radjab pun menjawab sekenanya, “Saya juga engku.”
Oohya! Baca juga ya:
Ini Jenis-Jenis Puasa Orang Jawa, Ada yang dari Ajaran Islam?
Jawaban itu diteruskan kepada ayah Muhamad Radjab yang ada di surau. “Apa katanya?” tanya ayah Radjab sambil bergegas bangun dari duduk dan menuju ke halaman surau.
“Mana dia engku itu, aku ingin berkenalan,” kata ayah Muhamad Radjab.
Anak-anak yang bermain galah berlari menghindar. “Kalau betul engku mengapa lari?” teriak ayah Radjab yang dari kejauhan masih terdengar oleh mereka yang sudah hilang ditelan gelap malam.
Mereka berlindung di lepau kopi dekat surau dan tidur di sana. Dua anak mengambil bekal sahur mereka di surau.
Esoknya, mereka tidur-tiduran di lepau kopi yang kosong dekat surau. Menjelang waktu shalat Jumat, ayah Muhammad Radjab lewat dengan kain basahan yanag belum diperas airnya.
Hari sedang panas terik, anak-anak yang berada di lapau tidur-tiduran dengan bertelanjang dada. “Nah ini engku-engku kemarin,” kata ayah Radjab menyimpan marah.
Kain basah itu dislepet ke arah Radjab dan teman-temannya sekuat mungkin. Ketika mendapat satu slepet, kawan-kawan Radjab sudah melarikan diri, tinggal Radjab seorang, sehingga dislepet berkali-kali.
Oohya! Baca juga ya:
Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?
“Ayah gusar betul, sebab kehormatan beliau sebagai engku terkanggar oleh ucapan saya, yang kurang ajar,” kata Radjab.
Slepetan kain basah itu membuat Radjab dongkol. Ingin membalas tidak berani dan dilarang agama. Maka, ia membalasnya dengan cara tidak shalat Jumat dan memilih pergi ke rumah ibu tirinya.
Ia membatalkan puasa di rumah istri kedua ayahnya itu. Ia mengadu merasa perlu membatalkan puasa karena telah marah kepada ayah.
“Ya itulah sebabnya selalu kukatakan kepadamu, bahwa selama puasa engkau harus jauh dari ayahmu,” kata sang ibu.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928), karya Muhamad Radjab (1950)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com