Pitan

Rahmi tak Mau Dikubur di Samping Bung Hatta, Ini Kata Pak Harto

Rahmi Hatta berpesan tidak mau dikubur di samping Bung Hatta dengan alasan tempatnya sempit. Apa yang kemudian dilakukan Pak Harto yang sudah bukan presiden lagi itu?

Bung Hatta meninggal pada 14 Maret 1980. Rahmi, istri Hatta, meninggal pada 13 April 1999.

Bung Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Rahmi tak mau dikubur di samping Hatta, suaminya. Pak Harto memutuskan Rahmi dimakamkan di samping makam Hatta.

“Edi orang Jawa, mengerti kan makna suami-istri dimakamkan berdampingan? Itulah tempat sebaik-baiknya bagi ibu, tidak baik kalau di luar,” kata Pak Harto kepada Sri-Edi Swasono, suami Meutia Hatta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ini Jenis-Jenis Puasa Orang Jawa, Ada yang dari Ajaran Islam?

Ketika Pak Harto baru datang takziah, ia langsung bertanya, “Sudah siap makamnya?” Saat itu Rahmi Hatta sedang dimandikan.

Meutia Hatta yang menyambut Pak Harto. “Ya Pak, namun Ibu berpsan tidak ingin dimakamkan di samping Ayah, karena nanti ruangan menjadi sempit untuk dua makam. Jadi Ibu minta dimakamkan di halaman makam Ayah saja,” jawab Meutia.

Cungkup makam Hatta di Tanah Kusir bernuansa masjid kuno beratap susun, dengan gonjong lancip rumah gadang Minang. Pak Harto yang mendesainnya lalu diwujudkan dalam gambar arsitektur oleh tim yang dipimpin Siswono Yudohusodo.

Ada ukiran berisi filosofi Jawa dan filosofi Pancasila. Di samping makam Hatta sudah digali lubang makam untuk makam Rahmi Hatta. Lubang itu sudah ditutup dengan lantai batu pualam.

Rahmi berpesan agar tidak dikubur di lubang makam itu, melainkan di luar halaman cungkup makam. Menurut Pak Harto, perempuan yang dimakamkan di luar makam suaminya hanya perempuan yang berstatus selir.

Oohya! Baca juga ya:

Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?

“Falsafah yang disampaikan Pak Harto bermakna bahwa Ibu adalah satu-satunya istri Bung Hatta, beliau istri terhormat, maka makamnya harus di samping suami,” kata Meutia.

Ketika Bung Hatta mengalami koma pada 13 Maret 1982, Pak Harto menjenguknya di ICU RSCM. Pada 14 Maret 1982, Bung Hatta meninggal.

Malam harinya, Pak Harto takziah sekaligus mengatur jalannya upacara pemakaman. Hatta telah berpesan dimakamkan di di tengah rakyat yang nasibnya diperjuangkan seumur hidupnya.

“Pak Harto menetapkan Tanah Kusir sebagai makam Bung Hatta sesuai kehendak beliau. Tidak di Masjid Istiqlal karena itu adalah tempat ibadah, tidak di Sumatra Barat karena tidak sesuai dengan amanah Bung Hatta,” kata Meutia.

“Tadi kata Meutia, alasananya takut sempit. Nanti saya yang akanmemperlebar, sehingga alasan tidak mau dimakamkan di sana karena sempit menjadi tumbang, tidak berlaku lagi,” kata Pak Harto.

Pada 1999, Pak Harto sudah bukan presiden lagi. ia telah mundur pada Mei 1998. Saat datang takziah juga tak lagi didampingi Ibu Tien Soeharto, karena sudah meninggal pada 1996.

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno tidak Berpuasa Saat Ramadhan 1945, Ini Alasan Ia Minum Air Soda

Keluarga Hatta pun menyetujui keputusan Pak Harto untuk memakamkan Tahmi Hatta disamping Hatta. “Segera dengan wibawa yang sama, beliau menelepon Kepala Garnisun Ibu Kota, memberi instruksi, walaupun bukan lagi sebagai kepala negara,” kata Meutia.

Ketika rombongana pengantar jenazahtiba di Tanah Kusir, lubang makam Rahmi Hatta di samping makam Hatta sudah siap. Rahmi Hatta pun dimakamkan di samping Hatta.

“Memang begitu seharusnya. Ibu rahmi dimakamkan disamping Bung Hatta,” kata Pak Harto ketika menerima keluarga Hatta sebulan setelah pemakaman.

Mereka mengunjungi Pak Harto untuk mengucapkan terima kasih. Setahun kemudian, Pak Harto merenovasi makam Hatta, memperluas seperti yang dijanjikan, atas biaya Pak Harto.

Siswono Yudohusodo kembali mendapat tugas dari Pak Harto membuat gambar arsitekturnya. “Memang jadinya amat indah, kaca dihias kaligrafi ayat-ayat Alquran,” kata Meutia.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
“Pak Harto di Tengah Keluarga Bung Hatta”, karya Meutia Hatta dalam Pak Harto, the Untold Stories (2014, cetakan kelima)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]