Pangeran Diponegoro dan Tebusan Surga yang Indah dari Perang Melawan Kompeni
Pertempuran tengah berlangsung. Penguasa Surabaya, yang mendukung Pangeran Diponegoro menjadi raja, berseru kepada para prajuritnya.
“Hai segenap orang Surabaya, pejamkan mata dan jangan ada yang berniat hidup sebab perang ini tebusannya surga yang indah,” teriak Adipati Surabaya, Joyopuspito, memberi semangat kepada para prajuritnya.
Prajurit Surabaya pun segera mengamuk, merusak, dan membinasakan semua yang ada di depannya. Prajurit Kompeni dan Kartosuro banyak yang tewas. Pasukan Kompeni yang berada di belakang pun maju memberi bantuan, menyerang orang-orang Surabaya.
Oohya! Baca juga ya:
Pangeran Diponegoro Pernah Jadi Raja di Madiun dengan Gelar Panembahan Herucokro
Di keraton Kartosuro, Pakubuwono I mendengar pasukan Mataram dan Kompeni telah hancur oleh serbuan orang-orang pesisir dan mancanegara yang dipimpin oleh Joyopuspito.
Pikirannya kusut karena orang-orang pesisir dan mancanegara memusuhi Kartosuro.
Ia kemudian sampai pada keputusan, mengirim surat kepada Pangeran Diponegoro, salah satu anaknya yang ada di Madiun. Ia meminta Pangeran Diponegoro menemui Joyopuspito.
Dengan senang hati, Pangeran Diponegoro pergi menemui Joyopuspito.”Aduhai Gusti hamba, tidak menyangka kalau Gusti sampai di sini,” ujar Joyopuspito.
Joyopuspito merasa senang dikunjungi Pangeran Diponegoro. Diponegoro pun segera membuka kembali surat dari ayahandanya, Pakubuwono I. Diponegoro dan Joyopuspito bergantian membacanya, mereka meski maksud surat itu.
“Tibalah hari Kamis, Pangeran Diponegoro telah diangkat menjadi raja dan bergelar Panembahan Herucokro dan bernama Senopati Ing Aalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama,” tulis Babad Tanah Jawi.
Oohya! Baca juga ya:
Awal Kisah Cucu Sultan Agung Ini Memilih Melarikan Diri ke Semarang Menjadi Pakubuwono I
Sepeninggal Pakubuwono I pada 1719, Raden mas Suryoputro naik tahta menggantikannya, menjadi Amangkurat IV. Pangeran Diponegoro adalah adik Suryoputro.
Mau tidak mau, akhirnya Mataram terpecah menjadi empat wilayah. Ada Pangeran Aryo Mataram, adik Pakubuwono I, yang berkuasa di Pati dengan wilayah kekuasaan mencakup Grobogan, Warung, Blora, Selo.
Ada Pangeran Diponegoro berkuasa di Madiun. Ada Pangeran Blitar yang didukung Pangeran Purboyo menguasai bekas istana Sultan Agung di Karto dengan gelar Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwono.
Ketika Pangeran Blitar meninggal pada 1721, Pangeran Purboyo menggantikannya. Lamongan tunduk di masa Pangeran Purboyo, tetapi akhirnya Purboyo ditangkap Kompeni dan dibawa ke Batavia.
Anaknya, kelak menjadi Pakubuwono III. Pakubuwono III memerintah di Surakarta sejak 1732.
Pada saat Pakubuwono I meninggal pada 1719, Diponegoro hendak memuliakannya dengan berburu rusa dan kijang. Di Kartosari --nama baru untuk bekas keraton Sultan Agung di Karto, Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwono meminta Pangeran Diponegoro yang sudah bergelar Panembahan Herucokro, menghadap kepadanya.
Oohya! Baca juga ya:
“Amanat almarhum ayahanda Raja akan dipertahankan. Jika saya diminta menghadap ke Mataram, akan saya lakukan sehendak hati saya. Bukankah kami sama-sama raja dan saya juga lebih tua?” kata Panembahan Herucokro.
Jelas di sini, Pangeran Diponegoro yang menjadi raja berkeraton di Madiun dan bergelar Panembahan Herucokro adalah anak dari Pakubuwoni I. Bukan Diponegoro anak dari Sultan Hamengkubuwono II yang memimpin Perang Jawa pada 1825-1830.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid IV, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]