Pitan

Ada Makam Panjang Sepanjang 25,5 Meter di Nagari Asal Mula Masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat

Kuburan ini memiliki panjang 25,5 meter dengan lebar tujuh meter. Ada di Nagari Pariangan, nagari tertua di Sumatra Barat.

Komunitas Jejak Republik tiba di Pariangan menjelang Ashar. Ini nagari yang berada di lereng Gunung Marapi, di ketinggian 800-1.000 meter dari permukaan laut (mpdl). Ada makam panjang, sepanjang 25,5 meter, di nagari asal mula masyarakat Minangkabau yang masuk wilayah Kabupaten Tanah Dadar, Sumatra Barat, ini.

Rumah-rumah gadang yang cukup tua usia menghiasi nagari ini. Dalam cerita tambo, kata seorang datuk yang ditemui sore itu, Pariangan adalah pusat peradaban Minangkabau. Dari Pariangan keluar perintah untuk membuat nagari-nagari di wilayah lain sehingga warga Pariangan segera merantau.

Oohya! Baca juga ya: Memimpin Pemberontakan Orang Cina Secara Diam-diam, Bupati Grobogan Menyerbu Loji Kompeni di Semarang

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kisah persatuan di Sumatra Barat diawali ketika terbentuk koto di Pariangan, yang dipercaya sebagai asal mula masyarakat Minangkabau. Nenek moyang mereka turun ke bumi di Pariangan. Koto adalah wilayah kecil yang didiami beberapa keluarga di lereng gunung. Di situ mereka membuat batas-batas kepemilikan wilayah dengan keluarga lain. Lereng gunung dipilih karena dianggap sebagai aman dari serangan binatang dan orang lain.

Koto-koto tersebar, dengan batas kewilayahan berdasarkan kesamaan adat. Di situlah mereka mengatur diri secara bersama. Mereka jalankan prinsip “parintah basandi adat, adat basandi parintah” (pemerintahan berdasar adat, adat berdasar pemerintahan). Adat dan pemerintah saling mengandalkan.

Oohya! Baca juga: Berkemah di Hutan Desa Pertama di Tanah Papua, Anak Muda Adat Menyeru Penyelamatan Hutan

Ketika orang Hindu Jawa dari Majapahit datang, munculkan sebutan nagari untuk menyebut wilayah koto itu, yang dipakai hingga kini. Nagari berasal dari bahasa Sanskerta.

Di masa lalu, Tanah Datar dikenal sebagai sumber emas yang menopang pemerintahan dan perdagangan Minangkabau. Emas itu telah memengaruhi kehidupan politik, agama, dan budaya Minangkabau dari pertengahan abad ke-14 hingga akhir abad ke-18. Keberadaan emas mulai merosot pamornya di akhir abad ke-18.

Oohya! Baca juga ya: Agar Musuh Ciut, Rakyat Grobogan Dikerahkan untuk Bersorak Saat Gamelan Dibunyikan Seolah Perang akan Dimulai

Adityawarman yang besar di Majapahit datang di hulu Batanghari pada 1340-an. Ia datang untuk menguasai Dharmasraya, daerah tambang emas yang menjadi sumber upeti kepada Majapahit sejak 1270.

Pada 1347 itu pula Adityawarman melepaskan ikatan kesetiaan ke Majapahit dan memakai gelar “maharajadiraja” dan “kanakamedinindra” (yang berdaulat di atas tanah yang mengandung emas). Menurut Christine Dobbin, Adityawarman mengembangkan budaya Minangkabau sebagai sintesis budaya Jawa dan Melayu.

Oohya! Baca juga ya: Di Kongres Pemuda Polisi Lakukan Interupsi, Lalu Mengapa Ada yang Berbahasa Belanda Saat Berbicara di Kongres?

Keterangan mengenai kuburan panjang di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Di Pariangan ini, terdapat makam panjang. Panjangnya mencapai 25,5 meter, dengan lebar mencapai tujuh meter. Di atas makam tumbuh pepohonan. Makam ini ada di situs seluas 629 meter persegi.

 

Papan informasi di lokasi makam ini menyebutkan, makam panjang ini merupakan makam Datuk Tantejo Gurhano. Di dekat makam ada pula batu-batu sandar sebanyak delapan buah. Yaitu batu-batu yang didirikan di tanah untuk bersandar, menandakan dulunya sebagai tempat pertemuan untuk bermusyawarah. Di Jorong Tabek, Pariangan, ada tempat pertemuan lama yang disebut Balairung Sari Tabek. Datuk Tantejo Gurhanolah arsitek bangunan itu.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin (2008)
De Minangkabausche Nagari karya LC Westenenk (1918)

Oohya! Baca juga ya: Malaumkarta Jadi Kampung Kelima dari Tanah Papua yang Menerima Anugerah Desa Wisata (Adwi)

 

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]