Dari Pagi Rakyat Gelisah Menunggu, Sukarno Putuskan Hadiri Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada Sore Hari
Para mahasiswa di Prapatan 10 mendapat kabar kabinet presidensial dibubarkan pada 18 September 1945 lama, menjelang pergantian tanggal menjadi 19 September 1945. Para mahasiswa pun berembuk, lalu mengutus dua mahasiswa yaitu Nasrun dan M Kamal untuk mendatangi rumah Menteri Dalam Negeri Wiranata Koesoemah.
Pukul 02.00 dini hari, Nasrun dan M Kamal mengetuk pintu rumah Wiranata. Wiranata tentu kaget, ada orang mengetuk pintu rumahnya dini hari. Dua oranag itu mengatakan utusan mahasiswa yang ingin menanyakan pembubaran kabinet.
Wiranata membenarkan informasi itu, tetapi ia mengatakan ada seorang menteri yang tidak menyetujuinya. Ia tidak mau menyebutkan nama menteri itu.
Oohya! Baca juga ya: Kabinet Presidensial Dibubarkan Menjelang 19 September
Pulang dari rumah Wiranata, Nasrun dan Kamal melapor ke Prapatan 10. Tapi mahasiswa dan pemuda tetap melangsungkan rapat itu, sebab menjelang Subuh, di Lapangan Ikada sudah mulai berdatangan orang-orang dari berbagai penjuru. Di kantor Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pemuda Sukarni sudah duduk di meja telepon sentral. Ia sibuk menjawab berbagai pertanyaan dari daerah melalui pesawat telepon.
Lapangan Ikada semakin padat dengan manusia. Rakyat dari berbagai penjuru terus berdatangan. Dari Bogor datang dengan 10 gerbong kereta api. Dari Cikampek datang dengan enam gerbong. Ada juga yang dari Tangerang, Bekasi, Karawang, Cianjur, Sukabumi, dan Bandung.
Mereka yang masuk ke Lapangan Ikada dengan membawa berbagai senjata, seperti bambu rincing, golok, tombak, terpaksa harus menyerahkannya kepada tentara Jepang. Tentara Jepang berjaga lengkap dengan sangkur terhunus, panser, dan tank.
Oohya! Baca juga ya: Ada Pasukan Dajal Sebelum Terjadinya Rapat Raksasa di Ikada
Para mahasiswa dan pemuda pun membkelai diri denan senjata. Pagi-pagi dikirim utusan lagi untuk menemui Sukarno-Hatta. Pada 19 September 1945 pagi hari itu, Sukarno mengumpulkan anggota kabinet yang sudah dibubarkan. Mereka rapat lagi pada pukul 09.00 di gedung KNIP di Lapangan Banteng. Jam makan siang pun mereka lewatkan untuk rapat.
“Ada menteri yang kuatir akan timbul pertumpahan darah, jika sampai menentang larangan Jepang. Ada menteri yang tertidur di kursinya yang ketika dibangunkan oleh Presiden segera bertanya, ‘Sudah ada keputusan?’ Keputusan belum juga tercapai,” tulis Rosihan Anwar.
Lapangan Ikadan makin penuh sesak. Para mahasisa dan pemuda menunggu di luar gedung KNIP. Menjelang sore, Sukarni mengetuk pintu bertanya kepada Soekardjo Wirjopranoto mengenai keputusan yang diambil. Soekardjo menjawab belum ada keputusan.
Subianto yang datang bersama Daan Jahja melaporkan rakyat di Lapangan Ikada sudah gelisah. Mereka menyatakan tak berani bertanggung jawab jika terjadi susuatu akibat rakyat terlalu lama menunggu. Subianto lalu menyerahkan surat kepada Hatta. Hatta lalu membacanya dan segera memandang ke Margono Djojohadikusumo, ayah Subianto yang menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. Isi surat itu, mahasiswa menjamin keselamatan Sukarno-Hatta.
Oohya! Baca juga ya: Hal-hal yang Terjadi Sebelum dan Sesudah Presiden RIS Sukarno Membacakan Proklamasi Pembentukan NKRI
Sukarno lega mendengar isi surat itu. Saat itu sudah pukul 15.00 (pukul 15.00 menurut Soejono Martosewojo. Rosihan Anwar menyebut pukul 16.00). Sukarno lalu berbicara. “Saudara-saudara Menteri, dengarkan putusan saya. Saya akan pergi ke lapangan rapat untuk menenteramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa Saudara-saudara untuk ikut saya. Yang mau tinggal di rumah boleh, terserah pada Saudara masing-masing,” kata Sukarno.
Ruang rapat menjadi hening. Para menteri ikemudian bangkit, bersiap menuju Lapangan Ikada. Para mahasiswa dan pemuda, di luar gedung, menyiapkan beberapa mobil. Mereka bersiasat. Suakrno-Hatta tidak dimasukkan ke mobil pertama, melainkan ke mobil kedua. Mobil pertama diisi beberapa menteri. Daan Jahja dan Subianto mengawal mereka dengan sepeda motor.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi karya Rosihan Anwar
Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdiannya karya Soejono Martosewojo