Sekapur Sirih

Mahasiswa Beri Honor Kecil ke Pembicara, Sekaleng Biskuit Pernah Saya Dapat

Seorang dosen lulusan Australia mengeluhkan dapat honor kecil dari mahasiswa. Sementara pemengaruh diberi honor besar. Jus Soema di Pradja, sahabat Andi Sahrandi, bercerita di buku 'Berbagi Senyum, Kisah-kisah yang Menguatkan dari Halaman Belakang Rumah Andi Sahrandi' memilih tidak menerima honor setiap diundang mahasiswa. Sumber: priyantono oemar

Belakangan beredar di media sosial mengenai keluhan dosen lulusan Australia yang cuma menerima honor kecil, Rp 300 ribu, saat menjadi pembicara di acara kampus. Lalu ia membandingkan pemengaruh yang juga menjadi pembicara di acara itu, tapi dihonor belasan juta rupiah.

Saya jadi ingat pengalaman mengundang pembicara yang pengusaha di acara kampus yang saya selenggarakan. Juga pengalaman ketika saya setelah bekerja sering diundang mahasiswa di berbagai kampus.

Pengusaha yang saya undang dulu itu, ia menyebut honor yang harus dibayar panitia berikut tiket pesawat pergi-pulang. Sementara, ketika saya sudah bekerja dan diundang ke kampus oleh mahasiswa, saya memilih menolak menerima honor, tapi pernah menerima honor sekaleng biskuit.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Jika yang mengundang bukan mahasiswa, melainkan lembaga pemerintah atau swasta, saya akan menerima honor yang diberikan. Untuk honor menjadi pembicara, saya tidak pernah menetapkan besarannya, karena saya tahu standar honor per jam di lembaga pemerintahan.

Ketika saya bercerita mengenai prinsip saya untuk tidak menerima honor dari mahasiswa, seorang teman menyarankan: lihat dulu kegiatannya, dapat sponsor atau tidak. Jika ada sponsornya, ia menyarankan ambil honornya.

Jika tidak ada sponsornya, honor tak usah diambil. Selama ini, saya tidak memperhatikan acara itu ada atau tidak ada sponsor, honor selalu saya kembalikan ke panitia.

Pernah panitia menyodorkan honor dengan amplop yang tebal. Sponsor acaranya cukup banyak. Saya menandatangani kuitansi, tetapi honor saya kembalikan, dengan ucapan: untuk perjuangan mahasiswa.

Nah, gara-gara saran teman tadi, suatu saat saya mencoba untuk menerima honor dari kegiatan mahasiswa yang ada sponsornya. Amplop saya terima, tapi sial, setelah dibuka isinya hanya Rp 100 ribu. Hahahaha.

Tentu saja saya tak perlu mengeluhkannya. Sebab saya juga pernah dihonor sekaleng biskuit oleh mahasiswa kedokteran yang ingin mengelola majalah kampus. Pernah pula dihonor berupa diisi bensin setangki penuh ketika bersama rekan kerja ditugasi kantor menjadi pembicara di Cijantung.

Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), menjelang reformasi 1998, sering mengundang seniman Bandung untuk mengisi acara Pentas Seni Setengah Jadi di sekretariatnya. Syafiril Erman, yang menjadi ketua bidang ekstern saat itu, mengadakan acara itu, bilang ke musisi Dede Harris yang diundang, bahwa tidak bisa memberi honor, lalu menyelipkan uang Rp 10 ribu seraya bilang untuk rokok.

Namun, ketika semakin banyak seniman yang diundang, honor tak terpikirkan lagi. Sebab, acara itu digunakan untuk menyuarakan kritik sosial menjelang reformasi, ketika mahasiswa belum bisa keluar dari kampus.

Harry Roesli dan Franky Sahilatua beberapa kali ikut tampil. Demikian juga para pemain teater di Bandung. Mereka tampil tanpa honor, meski di belakang hari ada salah satu penyair yang mengeluh kepada saya karena tak dihonor.

Di acara-acara lain di PMB, honor tentu disiapkan untuk pembicara yang diundang, yang rata0rata adalah dosen, tapi memang sudah diperbincangkan sedari awal dengan orang-orang yang akan diundang. Ketika dua kali mengundang Rendra pada 1990-an, misalnya, panitia hanya membayar Rendra dengan bibit pohon langka dan anak ayam kampung.

Berita Terkait

Image

Gara-gara Kata Goblok, Pendiri Bluebird Ajak Gelut Mahasiswa dan Abdul Muis Divonis Dua Bulan Penjara

Image

Mahasiswa dan Manusia Bermain

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com