Mengapa Sultan Agung Minta Maaf kepada JP Coen dan Minta Hadiah Pinang Sirih?
Sejak 1617 kapal-kapal Belanda sering merompak kapal-kapal Jawa. Hal ini membuat penguasa Jepara, Koja Hulubalang, membalasnya dengan cara menyerbu loji Kompeni di Jepara pada Agustus 1618.
Orang-orang Belanda yang selamat, menjadi tawanan Koja Hulubalang. Ia mengaku melakukan hal itu atas perintah Sultan Agung yang sudah empat kali memerintahnya.
JP Coen yang diangkat menjadi gubernur jenderal Kompeni pada 1619 lalu membalas dendam, yang membuat Sultan Agung pada 1620 harus meminta maaf dan hanya meminta hadiah pinang sirih. Apa maksudnya?
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung Didampingi Para Penghulu yang Gagah dan Berjenggot Panjang, untuk Apa?
Coen membumihanguskan Jepara pada 1619. Tapi bukan berarti orang-orang Belanda yang menjadi tawanan Mataram dibebaskan. Meski Sultan Agung meminta maaf kepada Coen, tawanan juga tidak dilepaskan.
“Raja Mataram mohon maaf kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal atas apa yang dilakukan oleh Hulubalang,” kata Tumenggung Baureksa, penguasa Kendal yang menggantikan Koja Hulubalang sebagai penguasa Jepara.
Untuk menenangkan JP Coen, Sultan Agung telah mengganti penguasa Jepara. Sultan Agung juga berjanji akan membangun loji lagi untuk Kompeni.
Tapi benarkah Sultan Agung meminta maaf karena merasa bersalah? Sebelum Sultan Agung mengganti pengausa Jepara, ia telah menulis surat kepada JP Coen.
JP Coen menerima surat itu pada 20 September 1620. Isi surat itu dianggap Coen sebagai arif tapi arogan.
Oohya! Baca juga ya:
Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?
Di dalam suratnya, Sultan Agung menyatakan irinya tidak berniat perang. Tetapi jika harus berperang dengan Kompeni, Sultan Agung menyatakan siap perang.
Sultan Agung lalu menyatakan jika kepala pedagang Kompeni di Jepara ditahan oleh Koja Hulubalang karena kepala pedagang itu bersalah. Jika Coen menginginannya, Sultan Agung menyarankan agar memintanya bantuan kepada Tumenggung Baureksa agar Koja Hulubalang membebaskannya.
“Kami juga ingin damai, dengan syarat orang kami yang ditahan terlebih dulu dipulangkan dari sana. Selama hal ini tidak dikabulkan, kami dapat melakukan apa saja yang dapat menimbulkan kerugian terhadap Raja Mataram,” kata JP Coen membalas surat Sultan Agung.
Sebelum Sultan Agung berkirim surat, di Jepara ada kejadian lain berkaitan dengan kedatangan kepala pedagang Kompeni yang baru, Artus Gijsels. Pada September 1620 itu, dari Surabaya Gijsels mampir di Jepara. Ia membakar beberapa kapal Jawa.
Pedagang Inggris berjasil menenangkan Gijsels. Pedagang Inggris itu menyebut telah tercapai kesepakatan damai dengan Mataram.
Percaya kepadapedagang Inggris, Gijsels lalu memberi ganti rugi atas kapal-kapal Jawa yang telah ia bakar. Ia juga berjanji tidak lagi mengusik kapal-kapal lainnya.
Oohya! Baca juga ya:
Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?
Ia pun kemudian meninggalkan pesan untuk kapal-kapal Belanda yang akan datang, bahwa telah terjadi kesepakatan damai dengan Mataram.
Padahal, yang sebenarnya beluma da kesepakatan damai. Kelapa pedagang Kompeni itu telah tertipu oleh pedagang Inggris yang ada di Jepara.
Ketika Coen mendengar hal ini, Coen makin marah. Gijsels didenda 100 riyal Spanyol.
“Kompeni tidak hanya dirugikan, tetapi juga dinodai,” kata Coen.
Coen menganggap Mataram yang mengenakan tipu muslihat macam begini, bisa berbuat lebih nekat lagi. Coen lalu menyampaikan peristiwa yang memalukan ini kepada Sultan Agung.
Itulah sebabnya Sultan Agung kemudian meminta maaf. Tapi bukan sekadar meminta maaf.
Oohya! Baca juga ya:
Rahmi tak Mau Dikubur di Samping Bung Hatta, Ini Kata Pak Harto
Sultan Agung mempunyai keinginan lain. Ia juga mendesak Coen meminta maaf kepadanya.
“Hal yang sama diinginkan agar Belanda pun minta maaf pada Raja,” kata Tumenggung Baureksa.
Untuk menyenangkan Coen, Kompeni kemudian diberi kesempatan membeli beras dan merica tanpa dikenai bea cukai. Sultan Agung juga tidak lagi menginginkan hadiah permata dan kain laken.
Ia hanya menginginkan hadiah uang riyal. Tapi uang itu bukan untuk menebus orang-orang Belanda yang ditawan Mataram.
Uang itu hanya untuk membeli pinang sirih. Maksudnya, itu sebagai ucapan terima kasih Gubernur Jenderal kepada Sultan Agung dengan cara memberinya pinang sirih.
“Rupanya, hadiah ini dimaksudkan sebagai tanda tunduk, tetapi dalam jumlah yang tidak memadai,” kata De Graaf.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
OOhya! Baca juga ya:
Ini Jenis-Jenis Puasa Orang Jawa, Ada yang dari Ajaran Islam?
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]