Lincak

Sultan Agung Didampingi Para Penghulu yang Gagah dan Berjenggot Panjang, untuk Apa?

Foto adegan film Sultan Agung. Sultan Agung memiliki penghulu keraton yang berbadan gagah dan berjenggot panjang. Apakah mereka juga menjadi pelindung Sultan Agung, selain mengajakan agama Islam?

Rijklof van Goens bercerita, Sultan Agung meninggal sebagai orang suci. Setelah meninggal ia didewa-dewakan.

Sultan Agung memiliki penasihat keagamaan yang diberi jabatan sebagai penghulu keraton. Pada 1624, para penghulu ini memiliki penampilan yang gagah dan berjenggot panjang.

Mengapa penghulu yang diberi tugas mengurus pengajaran agama Islam, harus berpenampilan gagah? Apakah selama mendampingi Sultan Agung juga menjadi pelindung keselamatan raja?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Resep Minuman dari Sultan Agung, Cocok untuk Bulan Puasa?

Van Goens merupakan utusan Kompeni yang dekat dengan Amangkurat I sejak masih menjadi putra mahkota. Ia menggambarkan Sultan Agung sebagai sosok “yang mempunyai pengetahuan luas tentang watak seseorang, kearifan yang mendalam, dan sebagai orang yang keras hati”.

Catatan utusan-utusan Kompeni membuktikan Sultan Agung sebagai pemuluk Islam yang taat. Catatan-catatan itu membantah CC Berg yang pada 1955 menyebut keislaman Sultan Agung hanya luaran saja sebelum 1633.

Berg menganggap Sultan Agung baru bersungguh-sungguh menjalankan Islam setelah 1633. Ini tahun diberlakukannya tarikh Islam oleh Sultan Sultan Agung berdasarkan tarikh Jawa.

Dr HJ de Graaf membongkar catatan-catatan lama, dan menemukan pujian-pujian mengenai kepetauhan Sultan Agung dlaam menjalankan Islam dalam catatan para utusan Kompeni yang dikirim ke Mataram itu. “Sebelum 1633, terlihat juga ketaatannya pada agama,” kata De Graaf.

De Graaf juga menyebut catatan dalam cerita lisan. “Raja terkenal sebagai seorang Islam yang saleh, bahkan mempunyai kekuatan untuk secara teratur mengikuti sembahyang Jumat di Makkah,” kata De Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Penulis Minang Ini Punya Trik Jitu Ikut Tarawih 21 Rakaat

Caspar van Surck menjadi utusan pertama Kompeni pada masa pemerintahan Sultan AGung. Ia dikirim pada 1614, setelah Sultan Agung naik tahta pada 1613.

“Orang Barat yang pertama mengunjungi Keraton Karta (sekitar 1614) melihat kehadiran seorang Islam terkemuka, yaitu penasihat bernama Kalifagypan, imam tertinggi, orang yang sopan,” kata De Graaf.

Sepuluh tahun kemudian, Jan Vos menjadi utusan Kompeni. Ia dikirim ke Mataram ketika Batavia kehabisan beras.

Di Mataram, ia menjumpai beberapa orang berjenggot panjang di sekeliling Sultan Agung. Orang yang berbadan gagah ini, kata sejarawan JKJ de Jonge yang dikutip De Graaf, adalah para penghulu yang berdarah Arab.

Saat itu masih jarang dijumpai orang Jawa berjenggot panjang. De Graaf masih menduga mereka adalah para pertapa, sebab sebutan penghulu baru muncul belakangan.

Dalam Babad Pagedongan, Sultan Agung mengangkat penghulu pertama kali setelah pulang dari Arab. Ia bertemu dengan petani di Kramatwatu, Panarukan, sebelum ia berangkat shalat Jumat di Makkah.

Oohya! Baca juga ya:

Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?

Petani itu rupanya cukup dalam ilmunya, sehingga Sultan Agung memintanya datang di Keraton dan kemudian mengangkatnya sebagai penghulu. Dalam perjalanan waktu, Kiai Penghulu ini menjadi penghulu kepala, disebut sebagai Kiai Penghulu Gede.

Kesaktian Kiai Penghulu Gede ini sudah diuji oleh Sultan Agung. Saat masjid terasa panas gersang, yang membuat Sultan Agung malas ke masjid, dalam sekejap diubah oleh Kiai Penghulu Gede menjadi sejuk.

Kayu-kayu jati di masjid itu tiba-tiba tumbuh dedaunan rimbun menutupi atap masjid. Sultan Agung pun memuji dan mengakui kelebihan ilmum Kiai Penghulu Gede.

Di lain kesempatan, ada prajurit Palembang yang desersi, lalu bergabung dengan tiga orang Makassar. Mereka pergi ke Mataram ingin berbuat jahat kepada Sultan Agung.

Saat mereka tiba di keraton Sultan Agung sedang shalat Jumat. Mereka pun berbaur dengan jamaah Jumat, mengenakan surban.

Oohya! Baca juga ya:

Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?

Prajurit Mataram yang mengawal Sultan Agung tidak menyadari kehadiran keempatnya di masjid itu. Selesai shalat, tiba-tiba surban Kiai Penghulu Gede lepas dari kepalanya lalu terkembang melindungi posisi sang raja.

Tidak cukup, surban Kiai Penghulu Gede lalu menyamber surban empat modin yang kemudian juga terkembang melindungi sang raja. Surban Kiai Penghulu Gede kembali ke kepala yang empunya.

Empat surban modin itu kemudian menyamber surban empat orang asing yang menyamar di masjid itu. Lalu surban-surban mereka mengikat tangan mereka.

Merekalah prajurit desersi Palembang dan orang Makassar yang hendak mencelakai Sultan Agung. Karena tangan terikat oleh surban mereka sendiri, maka mereka tidak bisa mengambil pedang dari balik jubah mereka.

Keempatnya minta ampun kepada Sultan Agung.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Pagedongan (1941)
- Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]