Lincak

Amangkurat I Cacat Moral pada Usia 18 Tahun, Sultan Agung Melindunginya dan Naik Tahta Menjadi Raja Mataram

Situs Keraton Mataram di Plered, yang dibangun oleh Amangkurat I. Di usia 18 tahun, Amangkurat I dianggap cacat moral, tetapi tetap naik tahta menjadi raja Mataram.

Pangeran Adipati Anom dinilai telah cacat moral pada usia 18 tahun. Ia menculik istri Tumenggung Wiroguno, lalu menikahinya secara diam-diam tanpa sepengetahuan Sultan Agung.

Tetapi Sultan Agung tidak mencopot dari posisinya sebagai putra mahkota. Keinginan beberapa orang agar putra mahkota diberikan kepada Pangeran Alit tidak terkabulkan, oleh karena itu setelah Sultan Agung meninggal dunia, Pangeran Adipati Anom tetap naik tahta menjadi Susuhunan Amangkurat I.

Sultan Agung menganggap perilaku Pangeran Adipati Anom hanyalah kenakalan remaja. “Lagi pula, sudah jamak apabila seorang pangeran muda sesekali menyeleweng,” tulis HJ de Graaf.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sultan Agung telah menikahkan Pangeran Adipati Anom pada 1634 di usia 15 tahun. Ia dinikahkan dengan putri Pangeran Pekik.

Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Sultan Agung justru menganggap orang-orang yang melaporkan perilaku Pangeran Adipati Anom kepadanya sebagai kurang pikir. “Mereka tidak memikirkan akibatnya jika putra mahkota naik tahta,” tulis De Graaf.

Pada masa kanak-kanak, Pangeran Adipati Anom akrab dengan beberapa orang Belanda yang menjadi tawanan Mataram. Tawanan itu memberikan mainan Belanda yang belum pernah dilihat oleh Pangeran Adipati ANom, sehingga ia menjadi senang karenanya.

Utusan Kompeni di Mataram, Van Goens, menggambarkan Pangeran Adipati Anom sebagai sosok yang beringas dan kuat sejak anak-anak. Dengan rombongan pengawal yang banyak, ia sering bepergian.

“Dalam perjalanan-perjalanan ini kadang-kadang ia juga mengajak beberapa orang Belanda untuk bergulat dengan rakyatnya, yang sangat menyenangkan hatinya,” tulis De Graaf.

Bagaimana kehidupan Pangeran Adipati Anom semasa remaja? De Graaf menemukan jawabannya.

Oohya! Baca juga ya: Anak Usia Dua Tahun Bisa Berjalan Setelah Konsumsi Kelor, Istri Ganjar Sebut Kelor yang Bisa Cegah Stunting Harganya Lebih Murah dari Moringa

“Menjelang dewasa, sewaktu berumur kurang lebih 14 atau 15 tahun, ia sangat tertarik kepada wanita dan dengan keluguan seorang remaja, ia menceritakan petualangan cintanya kepada orang-orang Belanda tersebut. Rupanya Pangeran sudah matang untuk menikah,” tulis De Graaf.

Maka, ketika pada 1637 (tiga tahun setelah pernikahannya dengan putri Pangeran Pekik) ia menyeleweng dengan menculik istri tercantik Tumenggung Wiroguno. Wiroguno mengajak Pangeran Alit untuk bekerja sama melaporkan kejadian ini kepada Sultan Agung, dengan harapan posisi putra mahkota diserahkan kepada Pangeran Alit.

Tumenggung Danupoyo dan Tumenggung Suro Agul-agul sebagai pendukung Pangeran Adipati Anom lalu berbuat sesuatu. Namun rupanya, setelah melihat Sultan Agung marah besar, Tumenggung Danupoyo memilih diam.

Sikap diam itu menyelamatkan Danupoyo. Ketika Tumenggung Suro Agul-agul dibuang ke Batavia untuk bertempur dengan Kompeni sampai mati dan keluarganya dihukum mati, Tumenggung Danupoyo hanya dicopot dari jabatan. Status sosialnya tetap ia sandang.

Sultan Agung kemudian mengirim Danupoyo ke Blambangan dengan pasukan besar. Pulang ia membawa orang-orang yang pernah dibuang oleh Mataram.

De Graaf menduga, pemberontakan-pemborantakan yang muncul setelah 1937 dipicu oleh tindakan keras Sultan Agung atas kasus yang menghebohkan keraton ini. Sultan Agung menjadi tidak menyukai Tumenggung Danupoyo dan Tumenggung Suro Agul-agul.

Rupanya, bukan cuma Tumenggung Suro Agul-agul yang mengirim guna-guna kepada Sultan Agung. Pengiriman guna-guna itu dilakukan setelah Sultan Agung memberi hukuman kepada para pelapor perilaku Pangeran Adipati Anom.

“Jadi, Kiai Jiwo Rago, Raden Wongsodito, Ngabei Wiro Menggolo melakukan kejahatan yang sama dengan Tumenggung Sura Agul-agul, yakni melakukan guna-guna dan meracuni Raja,” tulis De Graaf.

Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda

Rupanya, mereka bergerak terlalu jauh setelah dihukum denda oleh Sultan. Wiroguno dan Suro Agul-agul dianggap bersalah karena membantu pernikahan Pangeran Adipati Anom dengan istri Wiroguno tanpa sepengetahuan Sultan Agung.

Sultan Agung lalu menghukum mati 20 bangsawan yang dekat dengan Pangeran Adipati Anom. Catatan utusan dagang Kompeni Antonie Paulo menyebut nama Kai Jiwo Rogo, Raden Wongsodito, Ngabei Wiro Menggolo bersamaan dengan penyebutan nama Suro Agul-agul.

Ini yang membuat De Graaf menyebut mereka sebagai satu komplotan yang ia duga jauh lebih banyak jumlahnya. Antonie Paulo mengaku mendapat perintah membakar semua kapal yang ada di timur Jepara pada Juli 1638.

“Agar para pemberontak di sana tidak bisa melarikan diri,” tulis Paulo seperti yang dikutip De Graaf.

Kapal yang dibakar, dilaporkan ada 800 buah. Awak kapal yang disebut sebagai pemberontak, berasal dari wilayah timur kerajaan, yang dikaitkan dengan kehebohan di keraton pada 1637.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]