Lincak

Perwira Kompeni Penangkap Trunojoyo Heran Amangkurat II Tega Membunuh Trunojoyo yang Sudah Takluk

Ilustrasi ini menggambarkan Susuhunan Amangkurat II menusukkan kerisnya kepada Trunojoyo. Kapten Jonker, perwira Kompeni yang menangkap Trunojoyo, menilai Amangkurat II tidak layak menjadi raja.

Perwira Kompeni Kapten Jonker menyesalkan tindakan Susuhunan Amangkurat II menusuk Trunojoyo. Ia menganggapnya sebagai orang yang tidak kenal malu.

“Raja yang berbuat nista akan terkena hukuman Tuhan. Tidakkah Raja suka membaca cerita bahwa leluhurnya setiap tahun pergi ke Makkah?” tulis Babad Tanah Jawi mencatat keheranan Kapten Jonker terhadap perilaku Amangkurat II.

Peristiwa itu membuat Kapten Jonker berani berbicara. Amangkurat II ia sebut sebagai tidak layak menjadi raja karena telah membunuh orang yang sudah takluk.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Setelah Bunuh 7.000 Santri dan Kiainya, Amangkurat I Beri Imbalan 3.000 Pikul Beras kepada Kompeni Agar Dibantu Berperang Lawan Trunojoyo

Kapten Jonker adalah Muslim Ambon yang menjadi tentara Kompeni. Ia yang mendapat tugas menangkap Trunojoyo dan menjamin keselamatan Trunojoyo jika ia bersedia menyerahkan diri.

Trunojoyo pun mempercayai Kapten Jonker, sehingga ia bersedia menyerahkan diri pada 27 Desember 1679. Tiga tahun setelah Amangkurat II naik tahta.

Untuk menangkap Trunojoyo yang telah melakukan pemberintakan sejak Amangkurat I, Amangkurat II memint abantuan kepada Kompeni. Kompeni memenuhi itu dengan permintaan yang sangat menguntungkan Kompeni.

Pada saat penyerahan diri itu, Trunojoyo mengaku ia hanya menyerah kepada Jonker, bukan kepada Amangkurat II. Jonker pun memperlakukan Trunojoyo sebagai tawanan perang.

Oohya! Baca juga ya:

Perjalanan Amangkurat I Tinggalkan Keraton Mataram pada Malam Hari untuk Menghindari Serangan Trunojoyo

Namun, Jonker heran ketika adipati-adipati Mataram memperlakukan Trunojoyo dengan mengabaikan janji yang telah ia berikan kepada Trunojoyo.

Tangan Trunojoyo dibelenggu. Sebagai orang yang sudah menyerahkan diri secara baik-baik, menurut Jonker, tidak layak diperlakukan seperti itu. “Itu perbuatan anak kecil,” tulis Babad tanah Jawi mengenai pendapat Kapten Jonker.

Jika Jonker diajak memusuhi raja yang bodoh, Jonker pun siap melakukannya. Orang yang seperti itu, menurut Jonker, bukan orang yang luhur. Ia tidak menurunkan sesuatu untuk anak cucunya.

Seorang raja adalah orang yang berbudi pekerti luhur. Maka, menurut Jonker, adalah orang yang bersedia memberi maaf.

“Jika dahulu Trunojoyo dibiarkan tetap hidup dan dimaafkan kesalahannya tentu perjanjian bisa dilanjutkan. Itulah raja yang utama dan niscaya semua kewibawaannya akan menurun pada anak dan cucu yang bertahta menjadi raja,” tulis Babad Tanah Jawi.

Oohya! Baca juga ya:

Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?

Sakit hati atas tindakan pengecut terhadap Trunojoyo, Jonker pun keluar dari ketentaraan Kompeni. Ia menjadi penentang Kompeni yang akhirnya, pada 1689 ia dihukum mati oleh Kompeni.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku V, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]