Lincak

Menonton Wayang, Ruslan Abdulgani Bertanya kepada Sukarno: Mengapa Penjahat di Kiri dan Pahlawan di Kanan?

Presiden Sukarno mendalang. Ia pernah mendapat pertanyaan soal tokoh penjahat di wayang diletakkan di sebelah kiri dan pahlawan di sebelah kanan.

Pada 30 September 1960 Presiden Sukarno berpidato di Majelis Umum PBB. Pidatonya menjadi terkenal, berjudul: To Build the World Anew.

Sore itu di New York, wartawan Belanda Willem Oltmans mengaku mendapat banyak hal mengenai pemikiran Sukarno. Ia ikut menyimak pidato Sukarno di Majelis Umum PBB.

“Pidato monumental berjudul ‘To Build The World Anew’ (Membangun Dunia Kembali) ini merupakan salah satu pidato terbaik yang pernah dikemukakan dalam forum tertinggi organisasi PBB,” tulis Tim Kerja Penyusunan Sumber-Sumber Arsip Pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB 30 September 1960.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Presiden Sukarno mengenakan pakaian serba putih, berdiri di podium. Di belakangnya, ajudan Kolonel Sabur berdiri.

Oohya! Baca juga ya: Mengapa Putri Ariani dan 9 Finalis Lainnya Kalah Suara dari Anjing Bernama Hurricane?

“Saya berada di tribun pers tempat delegasi Indonesia, termasuk Sekjen PKI DN Aidit dan Jenderal Nasution berada,” tulis wartawan Belanda, Willem Oltmans di buku Mijn Vriend Sukarno.

“Itulah Sukarno. Memberikan ruang bagi tentara dan PKI duduk bersebelahan. Soeharto dan CIA, sebaliknya, akan menghancurkan dan memusnahkan PKI.” Oltman memberikan catatan kaki mengenai Aidit dan Nasution yang duduk berdampingan.

Nasution pernah mencegah Sukarno berpidato di Kongres PKI. Sukarno tetap berpidato, karena menurut Sukarno PKI juga mendukung perjuangan kemerdekaan.

Presiden Sukarno dalam rapat Kabinet Dwikora di Bogor pada 6 Oktober 1965. Dewi Sukarno mengkritik senyum Sukarno di foto ini.

Oltmans berusaha menafsirkan pikiran politik Sukarno yang tersurat dari isi pidatonya di PBB. Oltmans melihat Sukarno menempatkan ‘kanan’ dan ‘kiri’ sebagai pihak harus memiliki peluang yang sama.

“Dalam wayang, 'tokoh baik' duduk di panggung di sebelah kanan dan 'tokoh jahat' di sebelah kiri,” tulis Oltmans.

Sukarno sangat menyukai wayang. Ia bisa betah duduk semalaman di kursi yang cekung untuk menonton pertunjukan wayang di aula Istana.

Oohya! Baca juga ya: Ikut Bali Hope Swimrun 2023, Bagaimana 20 Atlet dari 8 Negara Ini Membantu Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan?

Tentang ini, Oltmans mengutip tulisan Jeff Lust yang pernah diundang Sukarno untuk menonton wayang di Istana. Dari pukul tujuh malam hingga tujuh pagi di aula Istana yang setengah gelap.

Lust menggambarkannya sebagai tidak menyenangkan baginya. “Presiden duduk diam mendengarkan dalang Sunda yang tidak saya mengerti,” tulis Lust seperti dikutip Oltmans.

Pada awal 1960-an, para pemimpin Islam mengingatkan persoalan yang ditampilkan wayang. Di layar wayang, penjahat ditancapkan di batang pisang sebelah kiri.

Sebelah kanan dipakai untuk menempatkan pahlawan. Dalam kisah pewayangan, yang di sebelah kanan selalu menang.

Tapi tidak demikian dalam pikiran politik Sukarno. Di dalam pidatonya di Majelis Umum PBB itu, ia menyeru kepada Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Isinya, ia ingin kedua negara itu melakukan perundingan mencari solusi atas permsalahan mereka. Ia juga menyeru agar Beijing (Cina) masuk PBB.

Oohya! Baca juga ya: Ditata Ulang oleh Kementerian PUPR, Taman Jokowi Iriana di Kaimana untuk Memanjakan Opakarofil

Pernyataan Sukarno itu dapat ditafsirkan, dunia memerlukan kesimbangan. Oleh karena itu, kiri dan kanan perlu memiliki peluang yang sama.

Hal lain yang dibicarakan, selain membahas Pancasila, tentu saja adalah soal sikapnya yang menentang penjajahan. Penjajahan, bagi Sukarno adalah kejahatan terbesar di dunia. Karenanya, ia mengusulkan agar Piagam PBB diubah.

Meski Sukarno menyukai wayang, tetapi orang-orang di sekelilingnya tidak memiliki basis budaya Jawa yang kuat. Tak heran jika ia suka mengajak Ruslan Abdulgani, misalnya, untuk menemaninya menonton wayang.

Tentu saja Ruslan Abdulgani tersiksa. “Presiden merasa terhibur karena saya tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk diam, yang di Belanda digambarkan dengan kata schadenfreude,” kata Ruslan kepada Oltmans.

 

Presiden Sukarno sangat menyukai wayang. Pada 4 Juni 1950 ia menerima persembahan wayang.

Ruslan menggambarkan, Sukarno senag di atas penderitaan Ruslan saat menonton wayang. Demikianlah pengertian dari schadenferude: gembira di atas penderitaan orang lain.

Selama menonton wayang, Sukarno selalu bertanya kepada Ruslan. “Saya tentu saja dengan sopan mengangguk, ‘Ya’,” kata Ruslan, meski sebenanya ia tidak mengerti cerita yang disampaikan oleh dalang.

Pernah suatu ketika, Sukarno mengumpulkan 100 dalang Bali di Istana Tampak Siring. Ia datangkan datang dari Yogyakarta untuk mendalang semalam suntuk di Tampaksiring.

Sukarno melakukan itu karena pentas wayang di Bali sudah tidak lagi semalam suntuk, melainkan hanya tiga jam. Ia ingin menunjukkan kepada para dalang Bali mengenai cara yang benar mendalang.

Ia juga mengajak Ruslan Abdulgani. Agar Ruslan tidak pergi sebelum waktu mendalang usai, Sukarno minta Ruslan duduk di sebelahnya. Maka, Ruslan pun kembali duduk diam ‘menikmati’ pentas wayang.

Tapi, pikiran usilnya kemudian datang. Malam itu di Bali, seperti diceritakan oleh Oltmans, menjelang puncak pertarungan terakhir antara kebaikan dan kejahatan, kanan dan kiri, Ruslan bertanya kepada Sukarno.

Oohya! Baca juga ya: Punya Ibu Mertua Seorang Bidadari, Adik Raden Patah Ini tidak Pernah Sungkem kepada Ibu Mertuanya

Pertanyaannya mengenai hal yang pernah dibisikkan pemimpin Islam kepada Sukarno: “Mengapa penjahat duduk di sebelah kiri dan pahlawan baik di sebelah kanan dalang?”

Ruslan mencoba menghubungkan pentas wayang dengan ajaran politik Sukarno. Sukarno terperangah mendengar pertanyaan Ruslan.

Ruslan memilih menghindari tatapan mata Sukarno. Dengan sopan ia memalingkan pandangannya. “Sekarang waktunya telah tiba bagi saya untuk menikmati kesenangan schaden.”

Oohya! Baca juga ya: Lima Hal yang Susah Dipahami oleh Orang Luar PSI Setelah Kaesang Disahkan Sebagai Ketum PSI

Genap lima tahun setelah Sukarno berpidato di PBB, pada 30 September 1930, Sukarno bermalam di Wisma Yaso. Ia bersama Dewi Sukarno malam itu.

Pagi hari, setelah sarapan segera berangkat ke Istana Merdeka. Saat itu, Sukarno belum menerima kabar peristiwa G30S/PKI.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Mijn Vriend Sukarno karya Willem Oltmans (1995)
- Peristiwa 1965, Persepsi dan Sikap Jepang karya Aiko Kurasawa (2015)
- Sumber-Sumber Arsip (Guide) Pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB ke-15 New York, 30 September 1960 karya Arsip Nasional RepubliK Indonesia (2021)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]