Anies Baswedan dan Jakarta yang Disalahpahami
Setelah KPUD Jakarta menetapkan cagub untuk Pilkada 2024, Anies Baswedan yang gagal nyagub merilis visi-misi yang telah ia susun bersama timnya. Setelah ia dicalonkan oleh partai, ia mulai menyusun visi-misi, tetapi kemudian tak terpakai karena partai-partai yang mengusungnya meninggalkannya.
Salah satu yang kentara dari visi-misi itu adalah perhatiannya pada nasib masyarakat kecil di Jakarta, yang pada kepemimpinannya juga sudah menjadi fokus perhatiannya. Ia membangun kembali kampung yang digusur oleh Ahok untuk akses ke wilayah reklamasi.
Anies Baswedan tak ingin rakyat kecil yang sudah mendiami Jakarta tersingkir. Tak ingin Jakarta disalahpahami.
Pada masa awal Jokowi memimpin Jakarta, Jokowi juga memberikan perhatian terhadap rakyat kecil tapi tidak tuntas sehingga hanya seperti gimik. Ahok yang meneruskan kepemimpinannya mencoba menyingkirkan rakyat kecil dari tempat tinggalnya.
Oohya! Baca juga ya: Jokowi dan Sukarno Beda Nasib, Meski Sama-sama Ganti Nama
PDIP pun tidak menentang tindakan Ahok menggusur orang-oranag kecil. PDIP malah keras kepada Anies yang sedang memanusiakan warga miskin Jakarta.
Wajah Jakarta seperti ingin diserahkan kepada orang kaya. Sehingga, kampung kumuh harus digusur, sepeda motor dilarang dari Thamrin-Sudirman. Dan sebagainya.
Pada tahun 1930-an, Husni Thamrin dan M. Tabrani juga harus memperjuangkan perbaikan kampung-kampung yang diabaikan oleh pemerintah kolonial. AKibatnya kampung-kampung di Jakarta menjadi kumuh.
Kampung-kampung itu tidak terlihat dari jalan raya. Dari jalan raya terhalang oleh bangunan-bangunan megah untuk ukuran zaman itu yang berdiri di sisi jalan.
Kampung-kampung kumuh berada di belakang bangunan-bangunan itu. Saat ini, banyak juga kampung kumuh yang terlindung oleh bangunan pencakar langit di Jakarta.
Sejak zaman kolonial ada saja pejabat yang menyalahpahami Jakarta. Kini menyalahpahami Jakarta masih terjadi.
Gedung-gedung di Jakarta disebut berbau kolonial. Ini dijadikan alasan kuat memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan adalah juga bagian dari menyalahpahami Jakarta.
Oohya! Baca juga ya: Raja Jawa yang Disebut Ketum Golkar dan Tuli Hindia Timur
Menyatakan tidak memikirkan pembangunan giant sea wall ketika nyagub karena itu adalah proyek pemerintah pusat adalah juga praktik menyalahpahami Jakarta. Proyek giant sew wall ditentang oleh banyak organisasi nonpemerintah.
Menyetujui proyek ini bisa dianggap sama dengan mengabaikan keberadaan rakyat kecil di pesisir utara Jakarta. Artinya, jika proyek itu dijalankan, rakyat kecil harus disingkirkan dari pesisir.
Lalu, kampung mereka diubah menjadi kawasan elite untuk orang-orang kaya, seperti yang akan terjadi pada proyek reklamasi. Selama menjadi gubernur, Anies Baswedan pedulu dengan masalah ini, sehingga rakyat kecil di pesisir utara merasa nyaman tinggal di kampungnya.
Sukarno-Hatta yang harus keluar masuk penjara dan pengasingan saja menerima keberadaan gedung-gedung yang dibangun oleh kolonial itu. Dan memberi warna keindonesiaan setelah menempatinya.
Tiang bendera dibuat di kompleks istana dengan simbol-simbol kendonesiaan. Kota Jakarta juga dibangun dengan semangat keindonesiaan, sebagai negara yang baru merdeka. Untuk menampilkan wajah Indonesia di Jakarta, Sukarno memiliki 355 proyek monumental. Berhasil, tetapi Sukarno tidak segera memoles kampung-kampung di Jakarta.
Air bersih hanya didapat oleh 12,5 pesen penduduk Jakarta, listrik hanya dinikmati oleh 13 persen penduduk Jakarta. Sudah waktunya Jakarat tidak disalahpahami lagi. Menjadi tugas pemerintahan-pemerintahan sesudahnya untuk memanusiakan warga Jakarta. Dan Anies Baswedan telah melakukannya pada lima tahaun kepemimpinannya, tapi tak bisa jadi cagub lagi.
Oohya! Baca juga ya: IKN, Apakah Jakarta akan Senasib dengan Pajang dan Majapahit?
Tidak dengan cara menyingkirkan warga miskin dari kota Jakarta demi membalas budi orang-orang kaya yang telah mendukung pemerintahannya.
Priyantono Oemar