Lincak

Bersih-Bersih PKI, Eks Jubir Presiden Ini Tabrak Tembok

Mahasiswa Bandung bersih-bersih PKI di Jawa-Bali bersama Kodam Siliwangi setelah peristiwa G30S/PKI. Di dalam rombongan itu ada mahasiswa yang kelak jadi jubir presiden. Ia menabrak tembok di Bali. Foto memperlihatkan Wimar Witoelar sedang bersama Priyantono Oemar, penulis buku Berbagi Senyum. Sumber: dokumentasi priyantono oemar

Peristiwa G30S/PKI meletus. Mahasiswa Bandung pun melakukan aksi demonstrasi pada Oktober 1965. Mahahsiswa ITB juga membentuk Komando Aksi Pembersihan ITB yang disingat KAPI.

KAPI mendatangi asrama dan rumah-rumah kos, mendata anggota CGMI dan Perhimi. Lengkap dengan susunan pengurus dan kegiatannya.

Usai pembersihan di ITB, aktivis KAPI bersama mahasiswa lain, termasuk dari Unpad, bersama Kodam Siliwangi melakukan pendataan di Jawa-Bali untuk bersih-bersih PKI. Di antara mereka ada mahasiswa yang kelak jadi jubir presiden dan sempat tabrak tembok di Bali.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Seperti diceritakan di buku Berbagi Senyum, Kisah-kisah yang Menguatkan dari Halaman Belakang Rumah Andi Sahrandi karya Priyantono Oemar, rombongan mahasiswa Bandung itu keliling Jawa-Bali dipimpin oleh Muslimin Nasution. Salah satu mahasiswa yang ikut, yang kelak menjadi jubir presiden itu, bertugas mencatat laporan.

Jumlah rombongan ada sekitar 40 orang. Mereka kebanyakan dari kelompok Bangbayang.

“Banyak kejadian yang dialami, seperti mogok di tengah hutan, melihat banyak kepala tanpa badan yang dihanyutkan di sungai Bengawan Solo, mobil diberondong tembakan Brimob di Porong karena ngebut di depan asrama mereka, mobil bus yang ditumpangi mau dibalikin sama peserta rapat PNI-Asu di Malang, dan banyak cerita seram lainnya,’’ ujar Andi Sahrandi, salah satu anggota rombongan, seperti dikutip buku Berbagi Senyum itu.

Sebelum rombongan berangkat ke Bali, Andi Sahrandi bolak-balik ke Magelang bersama Arifin Panigoro, Bernard Mangunsong, Abas Faturachman, Zainal Arifin, dan Dedi Krishna. Mereka membantu pengelolaan siaran Radio Ampera yang studionya baru dipindah ke Magelang.

Radio Ampera mulai mengudara ketika mahasiswa Bandung melakukan aksi di Jakarta. Informasi dan pemikiran soal Tritura disiarkan lewat radio ini.

Tugas di Jakarta selesai, studio dipindah ke Magelang atas bantuan RPKAD. Dari Magelang, siaran menjangkau Bali dan Sumatra, karena kapasitasnya mencapai 400 Watt.

Di Magelang, ada Tari Pradeksa, mahasiswa Unpad yang terlibat dalam peristiwa 10 Mei 1963 bersama Dedi Krishna, Suripto, Muslimin Nasution, dan A Qoyum Tjandranegara. Ia menjadi pengurus tetap Radio Ampera di Magelang.

Berangkat ke Bali, rombongan mengendarai satu sedan, lima jeep, satu land rover, dan satu pick up. Menurut Andi, Muslimin yang baru bisa menyetir memberanikan diri membawa mobil ke luar kota.

“Mobil oleng terus,’’ kata Andi menceritakan cara menyetir Muslimin.

Berita Terkait

Image

Kristenisasi Setelah Pemberontakan PKI di Madiun, Apa yang Terjadi di Desa?

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com