Lincak

Pecah Belah Tawanan di Boven Digul dengan Kesenian

Wayang wong tawanan politik di kamp Boven Digul. Belanda lakukan pecah belah tawanan politik Boven Digul dengan kesenian. Sumber:buku gamelan boven digul karya margaret j kartomi

Orang-orang buangan di Boven Digul harus kerja rodi membantu pemerintah kolonial membangun kamp. Mereka harus menebang kayu di hutan, membangun jalan, membangun rumah, dan sebagainya.

Namun, mereka yang menjadi tawanan politik itu masih bisa mengeskpresikan diri lewat kesenian dari daerah asal mereka. Hal itu memberi kesempatan pemerintah kolonial melakukan peecah belah di antara mereka lewat seni budaya itu.

Orang-orang yang dibuang ke Boven Digul di Papua Selatan sekarang, merupakan orang-orang yang menentang pemerintahan kolonial. Banyak di antara mereka yang dibuang tanpa melalui pengadilan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Rombongan pertama yang dibuang ke Boven Digul adalah mereka yang ditangkap setelah pemberontakan PKI pada 1926-1927. Tahun-tahun berikutnya tokoh-tokoh nasional dan Islam juga dibuang ke sana.

Kamp Boven Digul dibuka pada Januari 1927. Boven Digul oleh Gubernur Jenderal De Graeff, dijadikan tempat untuk menggantikan ambisi-ambisi politik menjadi minat terhadap hal-hal yang jinak dan lebih bersifat sosial.

Itulah sebabnya, di sela jadwal kerja paksa yang padat, orang-orang buangan itu diizinkan berekspresi lewat kesenian. Mula pertama adalah tawanan dari Solo bernama Pontjopangrawit, yang berinisiatif membuat gamelan dari kaleng-kaleng bekas.

“Lebih dari itu, Belanda juga melihat bahwa kebudayaan dan kesenian tradisional Jawa merupakan sarana untuk mempertajam pertentangan antara Jawa terhadap non-Jawa di dalam kamp,” tulis Margaret J Kartomi, professor musik di Universitas Monash, Australia, di buku Gamelan Digul.

Orang-orang Sumatra dibuang ke Boven Digul pada kurun 1930 - 1936. Di antara mereka ada Sjahrir dan Muh Hatta, yang beruntung mendapat perlakuan baik oleh Belanda selama mereka di Boven Digul.

Mereka yang berasal dari Sumatra tinggal di bagian kamp yang kemudian disebut Kampung Ujung Sumatra. Orang-orang dari Jawa tengah dan Jawa Timur menempati bagian yang kemudian disebut Kampung Jawa.

Selebihnya, ada bagian-bagian di kamp yang ditempati oleh orang-orang dari Jawa Barat, Ambon, dam Manado. “Seorang saksi Belanda pada tahun 1930 berkomentar bahwa mereka yang dari Sumatra, terutama Minangkabau, menutup diri sebagai kelompok terpisah yang terkadang memandanbg rendah terhadap kelompok-kelompok lain,” tulis Margaret J Kartomi mengutip JD Legge yang menulis biografi Sukarno.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com