Penjarahan di Indonesia yang Berubah

Presiden Prabowo Subianto menyebut aksi pembakaran gedung DPRD Makassar, kantor Pemprov Jatim, dan halte Transjakarta sebagai tindakan makar. Ia lantas meminta aparat keamanan bertindak tegas.
Polisi pun segera bertindak, tetapi mengapa hanya para pelajar dan mahasiswa yang ditangkap? Apa polisi tidak tahu auktor intelektual dari tindakan makar yang disebut Prabowo itu?
Pada 1959, ada sabotase kereta barang yang menuju ke Jakarta. Patroli militer berhasil menggagalkan penjarahan kereta barang itu dan pemerintah menyebut Darul Islam sebagai auktor intelektual dari tindakan itu.
Apa yang terjadi pada aksi demonstrasi 27-28 Agustus 2025, yang memunculkan aksi pembakaran dan penjarahan itu? Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbah hanyalah puncak gunung es dari sikap anggota DPR selama ini.
Mereka bersuara dan kemudian hanya mereka yang menjadi sasaran kemarahan. Rumah mereka dirusak dan dijarah. Mengapa para penjarah tidak menyasar gedung DPR Senayan sebagai biang masalah, tapi malah membakar gedung DPRD Makassar?
Di tempat lain, penjarahan dilakukan di kantor Astra Sedaya Finance di Kwitang, Jakarta. Kantor ini juga tak ada sangkut pautnya dengan alasan kemarahan para pendemo yang mendemo Mako Brimob Kwitang.
Pembakaran halte Transjakarta di dekat Mako Brimob dan di dekat Polda Metro Jaya juga tak ada kaitannya dengan kemarahan mereka kepada polisi. Mereka seperti acak meluapkan kemarahan ketika tak mampu melampiaskan kemarahan kepada sasaran utama: DPR dan polisi.
Massa yang ikut demo banyak emak-emak yang memiliki alasan beras naik harga kendati pemeritah klaim swasembada beras. Mengapa sasaran penjarahan bukan gudang-gudang Bulog?
Kemarahan para penjarah memang benar-benar acak, tidak terkoordinasi dengan kemarahan para pendemo. Hal itulah yang membuat banyak pihak berpendapat bahwa para penjarah dan perusak fasilitas umum merupakan kelompok yang berbeda dengan kelompok pendemo.
Pada masa kolonial, kecu-kecu secara berombongan hingga puluhan orang, menyasar rumah-rumah pejabat atau orang-orang Cina. Aksi kecu itu sebagai bentuk kemarahan kepada pemerinah kolonial.
Koran-koran Belanda menyebutnya sebagai tindakan dari penduduk yang “telah kehilangan rasa hormatnya kepada pemimpin mereka”. Para pemimpin itu “bahkan terbukti enggan menjalankan tugas yang secara hukum diberikan kepada mereka”.
