Serikat Petani Pasundan, Saling Peduli dan Tingkatkan Kapasitas Diri

Jajang Nurjaman sering berhadapan dengan warga yang menyerobot lahan. Ia menjadi serba salah, sebab mereka adalah para tetangga di desa.
Rumah bedeng di kebun yang ia tinggali sudah rusak dan tidak diperbaiki oleh manajemen perkebunan. Kondisi Jajang yang tidak menentu membuat para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) menunjukkan rasa peduli kepadanya.
H Hayat, anggota SPP yang telah sukses, menyediakan lahan untuk dibangun rumah bedeng untuk Jajang. Jajang terharu, para petani yang dulu ia hadapi sebagai wakil perkebunan di lapangan justru yang menolong hidupnya agar dapat meningkatkan kapasitas diri.
“Baru sebulan ini menempati bedeng SPP, menunggu pembagian lahan,” ujar Jajang.
Ketua SPP Asanudin mengatakan, ada 20 hektare lahan yang sedang disiapkan untuk dibagi-bagi lagi ke petani. Termasuk kepada Jajang.
Jajang menjadi buruh perkebunan sejak upah masih Rp 15 ribu per hari. Namun, ketika ia mendapat upah Rp 35 ribu per hari, pekerjaan tidak menentu. Kadang seminggu kerja, seminggu kemudian libur.
Sebulan hanya dapat Rp 300 ribu – Rp 400 ribu. “Bingung cara nafkahi keluarga,” ujar Jajang, seseunggukan. Air mata meleleh dari matanya, mengenang perjalanan hidupnya.
Jajang bukan orang pertama yang mendapat uluran tangan para petani SPP. Salah satu cara untuk merangkul orang-orang yang masih sekampung tapi berseberangan dengan para petani dalam mengklaim tanah adalah dengan memberikan bantuan.
“Ada yang kebakaran, kita bantu. Ada yang gagal panen, kita bantu,” kata Asanudin.
Para petani di tiga desa di Kecamatan Cilawu, Garut, itu mulai menggarap lahan di pinggir hutan dan perkebunan sejak awal reformasi pada 1998. Sebagai 25 petani menjadi pionir, menggarap lahan dengan tanaman padi gogo dan tembakau.
Hasilnya lumayan. Namun, suatu ketika, tanaman dicabuti oleh perusahaan. Maka terjadilah keributan.
Para petani berani nekat dan jumlah penggarap terus bertambah. Tidak hanya menggarap lahan di pinggir, melainkan juga lahan milik Perhutani dan PTPN VIII.
Ini yang membuat perusahaan meminta bantuan polisi dan ormas. Mereka dikejar dan ditangkap.
Entis Sutisna tidak sendirian ketika harus masuk penjara. Ia membabat tanaman teh milik PTPN VIII. “Masuk penjara delapan bulan,” kata Entis.
Ada yang divonis sampai empat tahun penjara karena dituduh menyerobot lahan. “Dikejar, diusir, diancam, sudah jadi makanan sehari-hari,” ujar Asanudin.
