Sunan Kalijaga Ternyata Bukan Begal di Masa Remajanya, Kata Siapa?

Film menjadi salah satu bahasan di Islamic Book Fair 2025. Bahasan itu muncul di bedah buku “Menggali Pahlawan Nusantara Melalui Komik dan Film”.
Bicara soal film, pada 1980-an, film Sunan Kalijaga ditonton oleh lebih dari 500 ribu orang, dengan pendapatan mencapai satu miliar rupiah. Angka yang fantastis saat itu. Setelah sukses film Kalijaga (1983), dibuatlah film Walisanga (1985).
Film ini bercerita sejak Sunan Kalijaga remaja, menjadi begal lalu bertemu Sunan Bonang. Ia lalu menunggu bertahun-tahun di pinggir sungai untuk bisa menjadi santri Sunan Bonang. Benarkah demikian?
Pada 1980, sempat ramai polemik rencana pembuatan film Walisanga oleh pengusaha Masagung bersama sutradara Sjumandjaja berdasarkan wangsit yang diterima oleh Tien Wartiningsih. Tak kurang dari Hamka, ketua MUI saat itu, memberikan tanggapan pedas soal itu.
Pembuatan film Walisanga ia didukung, tetapi cerita yang didasarkan wangsit, yang ia tentang. Hamka penyebut memanggil roh orang yang sudah meninggal adalah kurafat. Kerjaan orang musyrik.
Tak kurang dari majalah Ultra, Vista, Aktuil, Panji Masyarakat, dan bahkan majalah Tempo, membahasnya. Ada pula koran Pos Kota, Kompas, dan kantor berita Antara juga membahas polemik itu.
Membuat film berdasarkan wangsit yang diterima oleh dukun yang megaku bisa berhnungan dengan Sunan Kalijaga? “Itu omong kosong. Saya sebagai salah seorang ulama menolak yang demikian. Itu takhayul. Kurafat,” kata Hamka, dikutip Tempo.
“Saya akan melawan dengan propaganda, jika hal itu diteruskan,” kata Hamka, dikutip Kompas.
“Kalau begitu jelas pembuatan film itu dilatarbelakangi oleh aliran kepercayaan,” kata Hamka, dikutip Aktuil. Hamka berkomentar begitu karena Sjumandjaja menyatakan, setelah era para wali, hal-hal yang biasa didapat oleh para wali telah jatuh ke orang biasa seperti Tien Wartiningsih.
Segala kritik pedas yang ditujukan kepada rencana pembuatan film Walisanga itu diceritakan oleh Tien Wartiningsih di buku berjudul Penjelasan Pangrukti Adji kepada Prof Dr Hamka tentang Dawuh/Petunuuk Kangjeng Sunan Kalidjogo.
Buku itu diterbitkan oleh Yayasan Jalan Terang pada 1981. Yayasan ini didirikan oleh Masagung.
Pangrukti Adji disebut Tien sebagai nama pemberian Sunan Kalijaga untuk dirinya. Masagung juga mendapat nama dari Sunan Kalijaga, yaitu Bawono Adji. Sedangkan Sjumandjaja mendapat nama Asmoro Adji.
Masagung --yang memiliki nama asli Tjio Wie Tay-- dekat dengan Tien Wartiningsih. Masagung masuk Islam juga karena petunjuk dari Sunan Kalijaga melalui Tien Wartiningsih.
Tien Wartiningsih tidak mengaku mendapat wangsit, melainkan mendapat petunjuk. Ia mendapatkannya sejak usia 20 tahun, setelah melakukan trirakat selama 41 hari.
