Di Ende tak Ada yang Kenal Bung Karno, Benarkah?
Bung Karno dibuang ke Flores. “Kenapa dipilih Flores,” tanya Inggit ketika Bung karno memberi tahunya. “Kebanyakan pemimpin dibuang ke Digoel,” lanjut istri Bung Karno itu.
Bung Karno tahu jawabannya. Kata Bung Karno, sudah ada 2.600 orang yang dibuang ke Digoel. Jika Bung Karno dibuang ke sana, ia bisa mengguncang Belanda dari Digoel.
Maka, Bung Karno dibuang kampung nelayan, Ende, di Flores --pulau kecil dengan penduduk yang tak mengenal Bung Karno. Awal-awal ada di Ende, penduduk yang bertemunya tidak menyapanya. “Mereka sama sekali tidak mau tahu denganku,” kata Bung Karno kepada Cindy Adams.
Ende hanyalah kampung dengan penduduk sebanyak 5.000 kepala. Inggit tak yakin tak ada yang tak mengenal Bung Karno.
“Tidak mungkin orang-orang di sini tidak mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar. Sudah pasti banyak orang sini yang sudah mengenalmu. Sudah pasti banyak,” kata Inggit kepada Bung Karno saat mereka berdua di teras belakang rumah pengasingan di Ende.
Bung Karno bersama Inggit, Amsi (ibu Inggit), dan Ratna Juwami, ditepaykan di sebuah rumah di perkampungan kecil di Ende. Rumah-rumah di perkampungan itu beratap ilalang, tak ada listrik, tak ada air ledeng. Jalannya sangat sederhana.
Rumah pengasingan itu dikelilingi kebun pisang, kelapa, dan jagung. "Dalam segala hal, maka Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia,” kata Bung Karno.
Bung Karno tiba di dermaga Ende pada 14 Januari 1934 naik kapal dari Surabaya. Orang-orang terpandang di Ende, menurut Bung Karno terdiri dari orang-orang Belanda, pribumi-pribumi amtenar, dan “orang-orang yang memerintah seperti raja”.
Orang-orang terpandang inilah yang menurut Inggit seharusnya mengenal Bung Karno. Tapi nyatanya tak ada yang bersosialisasi dengan Bung Karno.
Bahkan, ketika Bung Karno pergi ke Biara Santo Yosef untuk menumpang baca, ia ditanya soal surat izin oleh salah satu pater. Untungnya, ada pater lain yang bersimpati kepada Bung Karno, bernama Gerardus Huijtink.
Pater itu mengaku sering membaca berita mengenai Bung Karno. Ia mendukung perjuangan Bung Karno, lalu memberi izin Bung Karno untuk membaca di perpustakaan biara. Bahkan Bung Karno diberi kunci, jika sewaktu-waktu saat datang tidak ada orang, Bung Karno bisa masuk dengan kunci itu.
“Orang-orang terkemuka di sini tidak mengacuhkanku bukan karena tidak kenal. Akan tetapi justru karena mengenalku,” kata Bung Karno merespons keheranan Inggit.
Inggit menceritakan adik raja yang diusir Beland dari seklahnya di Surabaya. Penyebabnya, karena adik raja itu tertarik dengan gerakan kebangsaan.
“Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapat lagi mempelajari politik,” kata Inggit.
“Itulah yang kumaksud,” kata Bung Karno. “Mana mungkin dia jadi kawanku. Dia berada di sini karena alasan yang sama denganku, sebagai hukuman,” lanjut Bung Karno.