Sekapur Sirih

Patung Bung Karno Menghadap ke Laut, Ada Pagar Laut di Sana?

Patung Bung Karno di Taman Renungan Bung Karno di Ende. Patung menghadap ke arah laut, tetapi tak ada pagar laut di sana, seperti di laut Tangerang, yang membuat nelayan terhalang untuk melaut. Sumber: priyantono oemar

Para nelayan Tangerang masygul, perahu mereka terhalang bambu-bambu yang memagari laut. Mereka jadi susah melaut, sehingga mereka menduga pagar laut itu sengaja dibuat agar mereka segera melepas tanah dan meninggalkan kampung mereka.

Pada Oktober 2024, mereka berkumpul dan mengadu kepada beberapa aktivis Jakarta yang datang di kampung mereka. Tujuannya, ingin menyuarakan tuntutan pencabutan status proyek strategis nasional untuk PIK 2 yang menimpa kampung mereka.

Kini, pagar laut itu menjadi ramai. Pemerintah dan pengembang mengaku tak tahu-menahu dengan pagar laut yang sudah mencapai 30 kilometer itu. Pemerintah tidak mengawasi laut, seperti halnya patung Bung Karno di Ende yang duduk menghadap ke laut.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Patung Bung Karno yang menghadap ke laut itu dipasang di Taman Renungan Bung Karno. Di sampingnya ada pohon sukun, yang diyakini sebagai lokasi yang di masa pembuangan di Ende dulu (1934-1938) menjadi tempat Bung Karno merenungkan bangsa sambil menatap ke laut.

Memandangi relief Bung karno tiba di dermaga Ende, dikawal polisi Belanda. relief tu ada di Taman Renungan Bung karno, Ende.

Ada empat situs di Ende yang menandakan kehadiran Bung Karno di Ende. Pertama adalah Rumah Pengasingan Bung Karno, kedua Taman Renungan Bung Karno, ketiga Serambi Soekarno, dan keempat gedung yang dipakai sebagai tempat pementasan tonil.

Serambi Soekarno berada di Biara Santo Yosef dekat Gereja Katedral Ende, sedangkan gedung pertunjukan, menurut staf Taman Renungan Bung Karno, Alex Dasil, berada tak jauh dari Gereja Katedral, yaitu gedung toko buku dan percetakan. Tapi yang diabadikan sebagai monument bukan gedung ini melainkan gedung lain yang tak jauh dari toko buku dan percetakan ini, yang dinamai Gedung Imaculata.

“Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain di hadapan 500 penonton. Ini adalah suatu kejadian besar dalam masyarakat di sana. Orang-orang Belanda juga membeli karcis,” ujar Bung Karno kepada Cindy Adams di buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende menyimpan kopi naskah sandiwara yang dikarang Bung Karno dan berbagai barang yang dulu dipakai Bung Karno.

Cerita pertama yang dipentaskan Bung Karno adalah Dr Setan. Ia mengadaptasinya dari Frankenstein. “Peran utama adalah tokoh Boris Karloff Indonesia yang me nghidupkan mayat dengan memintahkan hati dari orang yang hidup,” kata Bung Karno kepada Cindy Adams.

Bung Karno memberikan pesn moral di karya-karyanya, termasuk Dr Setan. “Pesan yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dari hidupnya,” lanjut Bung Karno.

Naskah lainnya adalah Tahun 1945. “Tahun 1945 menceritakan kemerdekaan Indonesia (yang diharapkan), tetapi Sukarno menganggap mempertunjukkannya terlalu riskan,” tulis Martin Bossenbroek di buku Pembalasan Dendam Diponegoro. “Demi keamanan, ia memberikan naskahnya kepada salah seorang pemain sandiwara yang ikut bekeliling,” lanjut Martin.

Simpang Lima Ende, sebuah masjid berdiri megah di persimpangan.

Serambi Soekarno menjadi monumen untuk mengenang pergaulan Bung Karno dengan kalangan Katolik di Ende. Ia sering berkunjung ke biara untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan biara.

Ketika ia berkunjung lagi pada November 1950 sebagai presiden Indonesia, Bung Karno menemui Pater Huijdink yang dulu mengizinkan dirinya membaca buku di perpustakaan biara. Saat berpidato di alun-alun Ende, ia berbicara tentang Pancasila dan kebebasan beragama.

Kepada Cindy Adams yang menulis biografinya, Bung Karno mengaku menemukan inspirasi Pancasila selama merenung di Ende. Ia mengaku sering merenung di baah pohon keluih di halaman rumah pengasingan. Tetapi karena pohon itu kemudian menjadi ramai oleh kucing-kucing, Bung karno lantas mencari tempat menyendiri untuk merenung di luar rumah.

Pekarangan belakang Rumah Pengasingan Bung karno di Ende. Sumurnya masih penuh terisi air.

Ada pohon sukun yang jauh dari rumah, masih di atas bukit, menjadi tempat baru untuk merenung. Dari bawah pohon sukun di atas bukit ini, ia bisa memandangi laut tanpa terhalang.

Pohon sukun bercabang lima yang ada di Taman Renungan Bung Karno posisinya tidak di atas bukit, melainkan di dekat dermaga. Tapi lokasi pohon ini diklaim sebagai tempat Bung Karno merenung sambil menghadap ke laut.

Sepanjang hidupnya, Bung Karno merenungkan berbagai persoalan bangsa. Ia membakar semangat bangsa Indonesia di Lapangan Ikada pada 1943, dua hari setelah patung JP Coen digulingkan.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Patung Bung Karno berdiri tegak di pekarangan depan.

“Apakah kau seorang Putera? Jawablah semua: Ya, saya Putera. Putera suati masa baru, Putera perjuangan baru, Putera masyarakat baru, Putera Indonesia,” kata Bung Karno di tengah guyuran rintik hujan. Putera singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat, yang dibentuk pada 1943.

“Di bawah Matahari Terbit, manakala Liong Barongsai dari Tiongkok bekerja sama dengan Gajah Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan Burung Merak dari Birma, dengan lembu Nan di dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan sekarang dengan Banteng dari Indonesia, maka imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua kita,” lanjut Bung Karno meneriakkan perumpaannya, seperti dicatat Cindy Adams.

Saat itu, Bung Karno menganggap Jepang sebagai imperialis modern di Asia. Tapi rupanya Bung Karno keliru. Kini ada imperialisme yang lebih modern lagi hadir di Indonesia. Nelayan tak bisa melaut karena laut dipagar bambu.

Priyantono Oemar

Berita Terkait

Image

Sekjen PDIP dan Kebaikan Jepang kepada Bung Karno

Image

Nasib Nelayan di Lokasi PSN PIK 2 Tangerang Laut Dipagar Bambu

Image

Nasib Nelayan di Lokasi PSN PIK 2 Tangerang Laut Dipagar Bambu

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com