Lilia Satu-Satunya Anak Milisi Timor-Timur Marcelino yang Merantau untuk Kuliah
Lulus SMA pada 2017, teman-teman Lilia Lopes memilih merantau mencari kerja. Ada yang ke Surabaya, ada yang ke Jakarta, ada pula yang ke Batam. Sebagai keluarga pengungsi Timor-Timur, teman-teman sekolah Lilia itu ada yang kuliah.
Lilia tujuh bersaudara. Tiga kakak Lilia sudah merantau ke Jakarta pada 2008, disusul kakak keempat merantau ke Kalimantan pada 2016. Lilia ingin kuliah, tapi orang tua tak mampu, sehingga ia membantu ayahnya, eks komandan milisi Timor-Timur, bertani. “Kebetulan ada lahan, tapi hasilnya dibagi dua sama yang punya tanah,” ujar Lilia, Ahad (27/10/2024).
Lilia sempat akan merantau ke Bali, tetapi batal. Ia kemudian merantau ke Jakarta, bukan untuk kerja, melainkan untuk kuliah pada 2019. Baginya, itu seperti bermimpi. Setelah lulus S1, ia melanjutkan pendidikan profesi selama dua semester dan pada 9 Oktober 2024 ia diwisuda.
Sebelum menjadi pengungsi di Nusa Tenggara Timur (NTT), ayah Lilia adalah komandan Makikit Timor-Timur (milisi pro-Indonesia). Namanya Marcelino Lopes. Pada 1999 mereka mengungsi dan tinggal bersama 357 keluarga di Tuapukan, NTT, sekitar 25 kilometer dari kota Kupang..
Tapi UNHCR mencabut status mereka sebagai pengungsi pada Desember 2002. Bantuan pun berhenti mengalir, termasuk bantuan air bersih.
Pada Agustus 2010, Andi Sahrandi bersama Posko Jenggala datang di Tuapukan. Marcelino sempat mengadang mereka dengan parang, karena sudah sering datang pejabat memberi janji manis, setelah pulang tak pernah kembali lagi.
Marcelino tak mengizinkan Andi masuk kampung mereka. Tapi kesalahpahaman teratasi, karena Andi membuktikan janji, membawa bantuan beberapa truk, termasuk membantu pembuatan sumur.
Lokasi 357 keluarga eks warga Timor Timur itu memang benar-benar gersang. “Musim kemarau kering sekali,” kata Lilia.
Sumur yang dibuat Andi pun tak selalu isi air pada musim kemarau. Mereka harus antre untuk bisa mendapatkan air dari sumur-sumur itu.
“Kadang jam tiga pagi kita sudah menimba air. Kalau tunggu jam tuju pagi, airnya pasti sudah kotor. Lalu ditunggu lagi sampai airnya banyak lagi dan bersih baru bisa diambil lagi,” tutur Lilia.
Saat Andi melakukan kegiatan kemanusiaan di Tuapukan pada 2010 itu, Lilia baru berusia 12 tahun. Sebagai siswi SD, Lilia ingat, bantuan dari Posko Jenggala membantu anak-anak pengungsi belajar bersama berkat sumbangan bangunan perpustakaan berikut buku-bukunya. Mereka pun mendapat bantuan seragam sekolah dan sepatu.
Dua bulan Andi di sana, mengadakan berbagai bantuan. Lilia mengakui, hubungan keluarganya dengan Andi pun menjadi sangat baik.
Sudah takdir Tuhan, pada 2019 Marcelino bertemu dengan seorang sahabat Andi. Ia berkeluh kesah kepadanya dan mendapat nomor kontak baru Andi.