Pitan

Anak Sultan Agung Itu Harus Memerangi Orang-Orang Makassar ketika Ia Sedang Senang Mencari Selir-Selir yang Muda dan Cantik

Keraton Mataram, tempat anak Sultan Agung, Amangkurat I, tinggal di masa tua. Ia harus memerangi orang-orang Makassar di saat ia sedang senang mencari selir-selir muda dan cantik.

Pada saat Amangkurat I mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan selir-selir yang muda dan cantik pada 1674-1675, Mataram dalam kondisi sedang kekurangan beras. Selain itu, Mataram juga harus menghadapi orang-orang Makassar.

Maka, Amangkurat I harus menghadapi serangan-serangan orang-orang Makassar yang menyerbu wilayah pesisir Mataram. Anak Sultan Agung itu pun membenci Pangeran Adipati Anom karena putra mahkota itu terlibat dalam serangan-serangan itu.

Amangkurat I menuduh Pangeran Adipati Anom akan merebut kekuasaan. Oleh karena itu, adiknya, Pangeran Singosari ditetapkan sebagai putra mahkota.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Amangkurat I di Masa Tua Keluarkan Banyak Uang untuk Selir-Selir yang Muda dan Cantik di Mataram

Hal itu membuat hubungan Pangeran Adipayi Anom dan Pangeran Singosasri memanas. Meski Amangkurat I mengampuni Pangeran Adipati Anom pada April 1675, namun hubungan Pangeran Adipati Anom dengan Pangeran Singosari tidak juga pulih.

Amangkuart I pun menghkawatirkn masa depan Mataram jika ia telah tiada. Ia menduga pasti akan ada pertarungan antara Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Singosari, memperebutkan tahta.

“Kekacauan itu mula-mula dianggap sebagai akibat kesehatan Raja yang menurun. Namun, setelah Raja sembuh kembali, ternyata tidak seorang pun di antara kedua pangeran itu mau menghiraukan ayahnya. Masing-masing ingin tampak sebagai yang paling hebat,” tulis Dr HJ Graaf.

Amangkurat I pun segera bertindak. Ia meminta syahbandar Juwana mencari mesiu sebanyak-banyaknya. Amangkurat I akan menggunakannya untuk memerangi orang-orang Makassar.

Amangkurat I pun mewajibkan para penguasa pesisir untuk memaksa orang-orang Makassar mengenaikan pakaian Jawa. Jika orang-orang Makassar itu menolak mengenakan pakaian Jawa, mereka harus meninggalkan Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Husni Thamrin Meninggal Setelah Disuntik Dokter yang Dikirim Polisi Belanda, Ini Profil Ketua Ikatan Dokter Hindia yang Merawat Thamrin Itu

“Orang Makassar yang tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa dengan demikian harus menyesuaikan penampilan dirinya sehingga tampak sebagai orang Jawa,” tulis De Graaf.

Namun, banyak orang Makassar yanag menolak peraturan tersebut. Akibatnya, Mataram mengirimkan 10 ribu praajurit ke Pasuruan untuk menyerang orang-orang Makassar di sana.

Di perjalanan mereka mendengar kabar bahwa Pangeran Adipati Anom telah bersahabat dengan orang Makassar, sehingga mereka kembali ke Mataram. Pada 1677, Pangeran Adipati Anom naik tahta sebagai Amangkurat II.

Amangkurat I mengganti Ki Wiraatmaka sebagai penguasa Jepara dengan Ngabei Wangsadipa. Di bawah Wangsadipa, orang-orang Makassar di Jepara mematuhi peraturan wajib nengenakan pakaian Jawa.

Namun, apakah Wiraatmaka diganti semata karena urusan orang-orang Makassar? Sebelumnya, orang-orang Mataram telah menculik istri kedua putra Wiraatmaka. Istri kedua itu masih muda dan cantik, diculik untuk dijadikan selir Amangkurat I.

Pada 1674-1675, Amangkurat I senang mencari perempuan-perempuan muda dan cantik untuk dijadikan selir. Sebab selir-selir yang ada tidak sesuai selera Amangkurat I.

Oohya! Baca juga ya:

Melawan Korporasi Nikel di Wawonii, 9 Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Sahabat Pengadilan dalam Uji Materi UU PWP3K

Untuk mendapatkan selir-selir muda yang cantik itu, Amangkurat I tak segan mengeluarkan banyak uang. Untuk satu selir misalnya, menghabiskan 10 ribu riyal. Anak Sultan Agung itu pun menjual kuda-kudanya yang sudah tua untuk membeli tekstil dari luar negeri.

Meski sudah berusia 55 tahun, Amangkurat I masih perlu menjaga penampilannya. Untuk siapa? Bisa jadi untuk tampil di depan selir-selirnya, sebab ia tidak lagi keliling negeri karena tubuhnya sudah lemah dan sakit-sakitan.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Runtuhnya Istana Mataram karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com