Pitan

Perang Diponegoro atau Perang Jawa Dipicu oleh Patok Tanah atau Selop Diponegoro?

Gambar yang memperlihatkan Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengkubuwono IV sedang menempeleng Patih Danurejo IV dengan selop (gambar diambil dari buku 'takdir, riwayat pangeran diponegoro' karya peter carey).
Gambar yang memperlihatkan Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengkubuwono IV sedang menempeleng Patih Danurejo IV dengan selop (gambar diambil dari buku 'takdir, riwayat pangeran diponegoro' karya peter carey).

Bataviaasch Nieuwsblad pada 1900 pernah menulis cerita soal selop Diponegoro. “Konon perang di Jawa dipicu oleh Residen Smissaert dan Patih Danurejo yang membenci Diponegoro karena telah memukul mukanya dengan selop,” tulis koran itu.

Hendrik Smissaert dalam penelusuran Peter Carey, menjadi residen yang tidak bisa membangun komunikasi dengan keraton. Ia banyak tinggal di lereng Merapi, karena rumah dinas residen belum direnovasi akibat letusan Gunung Merapi. Ia banyak bergantung pada sekretaris karesidenan yang mengambil keuntungan dari Danurejo. Pulang ke Belanda, skretaris karesidenan itu membawa lebih satu juta gulden yang ia dapatkan dari Danurejo.

Oohya! Baca juga ya:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bung Karno: Diponegoro Berotot Kawat, Minum Kopi Santan dan Makan Rujak Pedas

Setelah Menginjak Biji Kopi di Batavia, Tentara Inggris Seret Sultan Yogyakarta di Depan Diponegoro

Diberhentikan dari Jabatan, Para Bupati Bersatu Barisan dengan Diponegoro Perang Jawa

Benarkah Perang Dipenegoro atau Perang Jawa dipicu oleh tindakan Residen Smissaert dan Patih Danurejo?

Konflik internal keraton membuat Diponegoro putus hubungan dengan keraton. Semula, Diponegoro dan Mngkubumi adalah wali sultan. Sultan Hamengkubuwono (HB) IV masih kanak-kanak. Namun, pada akhir 1923, Bupati Sukowati Tumenggung Kertodirjo II dan Penghulu Yogyakarta Kiai Rahmanudin dipecat atas perintah Patih Danurejo IV dan Ratu Ageng (nenek Sultan HB IV). Kedua pejabat itu merupakan sahabat Diponegoro.

Diponegoro marah karena pengganti Kiai Rahmanudin tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai Alquran. Pada Oktober 1824, Diponegoro pun membahas makin buruknya kondisi ekonomi politik dengan para pangeran dan pejabat resmi keraton. Inilah awal pembahasan rencana pemberontakan. Tapi banyak yang takut hadir karena takut mendapat perlakuan buruk dari Belanda.

Apa yang membuat kondisi ekonomi memburuk saat itu? Ini bermula dari kebijakan menyewakan lahan ke orang-orang Belanda di masa Nahuys van Burgst menjadi residen Yogyakarta pada 1816-1822. Nahuys membujuk Sultan Yogyakarta untuk menyewakan lahan. Bahkan, pada Oktober 1818 Nahuys memodifikasi Angger Sepuluh, yaitu kitab hukum agraria keraton, dengan memberikan hak penyewa lahan sama seperti hak pemilik lahan.

Dalam perkembangannya, sewa lahan makin meluas dan berpindah tangan. Pangeran dan priyayi yang menyewakan lahan memang mendapatkan penghasilan dari sewa lahan itu untuk biaya hidup mewah mereka, tetapi hubungan batin mereka dengan para petani penggarap, kata Peter Carey, “runtuh dan hilang”.

Gubernur Jenderal Van der Capellen menilai sewa lahan ini tidak melindungi masyarakat Jawa, Karenanya ia mencabutnya pada 1823. Namun, muncul persoalan baru. karena para penyewa lahan meminta ganti rugi. Nahuys, misalnya, minta ganti rugi 50 ribu gulden untuk perkebenunya di lereng Merapi. Bahkan ia meminta dibayar segera karena akan segera pulang ke Eropa setelah habis masa jabatannya. Ia digantikan oleh Smissaert, mantan residen Rembang.

Setelah melihat lokasi pada 29 Juli 1823, Diponegoro dan Mangkubumi hanya akan memberi ganti rugi 800 dolar Spanyol. Nahuys meminta Patih Danurejo menghitung biaya operasional perkebunan yang telah ia keluarkan, yang membuat Mangkubumi dan Diponegoro dongkol. Nahuys kemudiana menurunkan ganti rugi menjadi 26 ribu dolar Spanyol.

Mangkubumi dan Diponegoro menolak, tapi Nahuys mengungkit persahabatannya dengan Sultan HB IV. Ini semakin membuat Mangkubumi dan Diponegoro naik pitam. Diponegoro sampai menyebut persahabatan ayahnya, Sultan HB III, dengan sekretarus Karesidenan Yogyakarta yang membantu ayah Diponegoro naik tahta. Tetapi sekretaris karesidenan itu tidak memita imbalan kecuali hadiah seekoar kuda seharga 700 dolar Spanyol atas inisiatif ayah Diponegoro.

Untuk pemberian ganti rugi ini, para pangeran dan priyayi harus menjual harta benda mereka. Bahkan ada yang samoai berutang dengan bunga tiga persen per bulan. Akibatnya, keluarga dan pejabat keraton banyak yang jatuh miskin.

“Mengingat besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayar, banyak pangeran dan pejabat tinggi Keraton Yogya mulai curiga adanya penipuan oleh para penyewa tanah orang Eropa itu,” tulis Peter Carey. Para petani yang menggarap lahan sewa pun dendam dan mendorong-dorong para bandit menyerbu lahan-lahan sewa itu. Tanaman dihancurkan. Daerah-daerah ini oleh Belanda lalu dijuluki sebagai pusat para bandit. Di kemudian hari menjadi titik-titik pendukuang kuat Perang Diponegoro yang dimulai pada 21 Juli 1825.

Diponegoro juga menyimpan jengkel akibat Nahuys tidak bisa menempatkan diri. Pada acara gerebek, Nahuys duduk di singgasana mewakili Sultan HB IV menerima sembah sujud dari para pangeran dan pejabat keraton. Hal yang dianggap Diponegoro sebagai penghinaan terhadap orang Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Persatuan Timur Besar dan Cikal Bakal RMS yang Ingin Jadi Provinsi ke-13 Belanda Setelah Menolak RIS

Persatuan Timur Besar Tolak Kemerdekaan Indonesia, Pun Kemudian Tolak Republik Indonesia Serikat

Menatap Gamang Visi Maritim Indonesia 2045

Perampok Beri Tahu akan Merampok, Orang Kaya di Grobogan Ini Ngopi Bareng Tiap Malam di Rumah

Pada Mei 1825 Kiai Rahmanudin memberi tahu Diponegoro mengenai tentara Belanda yang baru tiba di Semarang. Tapi, Rahmanudin salah informasi, sebab tentara ini dipersiapkan untuk dikirim ke Sulawesi, bukan ke Tegalrejo untuk mencari Diponegoro. Kepada Rahmanudin yang sudah cukup tua, Diponegoro menyarankan untuk menghabiskan masa tuanya di Arab saja, sekaligus mendoakan Diponegoro dari Tanah Suci dan meminta para syekh di Arab juga mendoakan Diponegoro agar berhasil dalam rencana pemberontakannya.

Saat Rahmanudin berangkat ke Arab, Residen Smissaert sedang merencanakan perbaikan jalan-jalan kecil di Yogyakarta. Salah satu proyek itu melewati pagar timur Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro. Patok-patok mulai dipasang oleh anak buah Patih Danurejo pada 17 Juni 1825. Patok-patok ini mengganggu kenyamanan Diponegoro dan orang-orang yang bekerja di Tegalrejo.

“Sekilas perbuatan Patih Danurejo ini disengaja, sehingga menimbulkan situasi panas dan perkelahian antara pengikut Diponegoro dan anak buah Patih yang segera melibatkan penduduk setempat. Pada awal Juli, ketika para petani penggarap lahan-lahan Diponegoro yang lebih jauh tiba untuk membela Pangeran, perseteruan itu kian memuncak. Rencana untuk bangkit melawan yang sedianya dijadwalkan pada pertengahan Agustus terpaksa dimajukan, karena perseteruan itu mengakhiri segara keraguan dalam hatinya untuk segera memulai aksi militer,” tulis Peter Carey.

Seharusnya, Danurejo memberitahukan rencana proyek ini ke Diponegoro, tetapi ia memilih tidak melakukannya. Danurejo memang punya dendam kepada Diponegoro. Diponegoro pernah menempeleng Danurejo dengan selop di hadapan orang-orang di keraton. Saat itu Diponegoro masih menjadi wali sultan, dan Danurejo sebagai patih terus membantah Diponegoro.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

Bataviaasch Nieuwsblad, 26 Oktober 1900

Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro karya Peter Carey

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi