Persatuan Timur Besar Tolak Kemerdekaan Indonesia, Pun Kemudian Tolak Republik Indonesia Serikat
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
Enam bulan setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu pada Februari 1946, orang-orang Indonesia Timur yang ada di Jakarta mendirikan Persatuan Timur Besar (PTB). Mereka menyesali proklamasi kemerdekaan karena pilihan mereka adalah menjadi negara independen sebagai bagian dari Kerajaan Belanda. Penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tak berpengaruh pada pendirian orang-orang Indonesia Timur yang membentuk PTB ini.
Oohya! Baca juga ya:
Anies Baswedan Sebut Presiden RIS Mr Assaat, Ini Faktanya dan Nama Negara-Negaranya
Seberapa Luas Wilayah Republik Indonesia Semasa Jadi Bagian dari Republik Indonesia Serikat?
Bappenas Sebut Indonesia Jadi Negara Nusantara pada 2045, Apa Maksudnya?
Penghapusan tujuh kata itu dilakukan karena ada kekhawatiran berpisahnya beberapa daerah dari Republik yang baru diproklamasikan. Anggota Komite Sembilan PPKI AA Maramis –perwakilan dari Indonesia Timur dan non-Muslim-- yang ikut menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, menurut Moh Hatta, sebenarnya tak keberatan dengan tujuh kata itu, karena sudah yakin kata-kata syariat itu tak diberlakukan untuk warga negara yang non-Muslim.
Namun, Hatta memilih mempercayai laporan dari opsir Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan kepadanya mengenai adanya keberatan dari para pemimpin non-Muslim di Indonesia Timur. Wilayah Indonesia Timur saat itu masih dalam pengawasan Angkatan Laut Jepang setelah Jepang kalah dari Sekutu.
Sebelum disepakati sebagai Piagam Jakarta, saat pembahasan Pembukaan UUD di Rapat Panitia Perancang UUD BPUPKI 11 Juli 1945, Latuharhary menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan Pembukaan UUD itu.
Pada sidang 11 Juli 1945 itu, Latuharhary meminta tujuh kata itu dibuang:
Berkeberatan tentang kata-kata “berdasar atas ke-Tuhanan, dengan kewadjiban melakukan sjari’at buat pemeluk-pemeluknja”. Akibatnja mungkin besar, terutama terhadap agama lain. Karena itu diminta supaja didalam Undang-undang Dasar diadakan pasal jang terang; kalimat ini bisa djuga menimbulkan kekatjauan misalnja terhadap adat-istiadat.
Sukarno sebagai ketua Panitia Perancang UUD tidak menyetujuinya, karena tujuh kata itu sudah merupakan kompromi yang dicapai oleh golongan kebangsaan dengan golongan Islam pada Juni 1945. Diputuskan tujuh kata itu tetap ada.
Meski sudah dihapus, toh, tetap muncul PTB yang menolak kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini kemudian dibentuk juga di Minahasa, Ambon, Makassar, Kupang, dan beberapa kota di Kalimantan. Twalfde Provincie Partij (Twapro) di Minahasa dan Commissie Rechtspositie Ambonnezen (RCA) bergabung di dalamnya. Slogan mereka: Een vlag, een volkslied. Satu bendera, satu lagu kebangsaan. Yang dimaksud tentu saja bendera triwarna dan lagu Wilhelmus. Figeleyn dari Ambon, dalam rapat umum PTB pada Januari 1947 di Jakarta, menegaskan dengan suara lantang:
Kami hanya tahu satu bendera dan tidak akan pernah tahu yang lain: merah, putih, dan biru. Dan untuk lagu kebangsaan kita: Mengapa orang ingin merampas Wilhelmus yang indah itu dari kita? Kita tidak ingin yang lain.
Dalam kesempatan itu, Figeleyn juga menegaskan bahwa masyarakat Ambon tidak ingin menjadi warga negara Indonesia. Tidak ingin bergabung dengan Indonesia Serikat. "Kami tidak ingin berpisah dari Belanda. Kami tidak pernah ingin. Kami ingin menjadi bagian Kerajaan Belanda, dengan hak dan kewajiban yang sama seperti semua orang Belanda,” kata Fegeleyn yang disambut sorak oleh yang hadir.
Ketua PTB, L Palupessy (kadang ditulis juga sebagai Polhoupessy), dalam pidatonya di rapat umum PTB itu mengatakan:
Fakta bahwa pada bulan Agustus 1945 kita tidak mencengkeram bambu runcing, tidak menggenggam granat tangan Jepang, dan tidak memegang senapan kaliber Jepang. Tentu bukan karena kurang berani, tetapi karena kita tahu bahwa hanya dengan kerja sama yang erat dengan Belanda dan bangsa Belandalah yang membawa berkah bagi bangsa kita.
Di Jawa dan Sumatra, rakyat berani merampas senjata tentara Jepang setelah Jepang kalah di dalam Perang Dunia II. Sementara di Indonesia timur, tak ada aksi merampas senjata tentara Jepang.
PTB mengklaim memiliki anggota yang cukup banyak. Mencapai 60 ribu. Selain warga sipil anggota serikat pekerja, organisasi politik, tentara KNIL juga masuk di dalamnya. Orang Indonesia yang menjadi tentara KNIL cukup banyak. Data Desember 1941, dari 85 ribu anggota KNIL, sebanyak 28 ribu adalah orang Indonesia. PTB menyebut KNIL yang berasal dari Indonesia Timur mencapai sepertiganya dari jumlah orang Indonesia yang menjadi anggota KNIL.
Oohya! Baca juga ya:
Orang Indonesia Pernah Pansos dengan Bahasa Belanda
Menatap Gamang Visi Maritim Indonesia 2045
Di Minahasa kemudian muncul De Twaalfde Provincie (Twapro) Minahasa, yang mengajukan proposal ke Belanda, berharap bisa menjadi provinsi ke-12 Kerajaan Belanda. Di Ambon muncul Commissie Rechtspositie Ambonnezen (RCA), yang juga ingin bergabung dengan Kerajaan Belanda. Dua organisasi ini menginduk pada PTB.
PTB pula yang kemudian juga menentang RIS dan negara kesatuan. PTB menyatakan bahwa rakyat Ambon memutuskan hubungannya dengan Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat. Tindakan ini mereka sebut sebagai upaya menentang upaya penaklukan negara-negara bagian oleh salah satu negara bagian.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Het Dagblad edisi 13 Januari 1947, 4 April 1947
Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI
Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs karya Moh Hatta