Orang Indonesia Pernah Pansos dengan Bahasa Belanda
![Para pemuda peserta Kongres Pemuda Indonesia Kedua, sudah banyak yang mengenakan pakaian Barat. Pada dekade 1920-an, selain berganti pakaian, banyak pemuda yang menguasai bahasa Belanda. Bahasa Belanda pada saat itu bisa untuk panjat sosial (foto: repro majalah media muda)](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/li7gazrwb1.jpg)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
Pada masanya, menguasai bahasa Belanda bisa naik status sosial sebagai pribumi. Menguasai bahasa Belanda berarti bisa melamar menjadi amtenar, pegawai di kantor pemerintahan Hindia Belanda. Maka, banyak pemuda yang panjat sosial (pansos) dengan belajar tekun bahasa Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Bahasa Belanda Sempat Menghambat Persatuan Indonesia pada 1920-an
Penggunaan Bahasa Indonesia di Volksraad Juli-1938, Thamrin: Agar Bahasa Indonesia tidak Terdesak
Badan Bahasa Targetkan Dapat 80 Ribu Kosakata Baru pada 2024
Madong Lubis bercerita, orang-orang giat belajar bahasa Belanda untuk bisa mengikuti ujian pegawai. “Titel klerk, titel candidaat-onderwijzer sangat merdu bunyinya di telinga anak-anak kita,” kata Madong Lubis pada saat Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada 1954.
Meski dituding menjadi kebelanda-belandaan, mereka taka peduli. Di akhir dekade 1930-an, fenomena ini masih ada.
Bang Bedjat, pengasuh rubrik “Isi Podjok” koran Pemandangan yang dipimpin M Tabrani, menyebutkan sudah meluasnya fenomena itu di kalangan orang Indonesia. Sapaan-sapaan pun menggunakan bahasa Belanda. Mari kita baca “Isi Podjok” yang dikutip di sini:
Memang bahasa kita oleh kita sendiri kaga’ dihargain, tjoeman sekadar boeat pidato.
Apalagi perkara nama. Kalau ada gadis bernama “Soedinah” lantas panggilannja: “Dientje”.
Kalau ada jang bernama “Karlinah”, panggilannja “Lientje.
Begitoe seteroesnja.
Itoe memang soesah diboeang, sebab “keeping” kita soedah djadi koeping lain.
Soeara “Gendoek” of “Le”, of “Hangger”, anakda, ensepoer kaga’ legit lagi.
Perkara dansi2, jah, doeka teuing. Misalnja dansa “Lambeth Walk” atau “Djambret Wok”, itoe maksoednja memang “djambret rok (badjoe)”.
Dansi zonder djambret (seperti tari Sembodro) wah,... dianggap seperti kaga’ ada boemboenja.
Malah kadang2 ada jang koerang poeas, lantas dansi2 pakai ..... short (tjelana koetang), malah menoeroet Haminta ada jang pakai badpak.
Soal sapaan, Madong Lubis juga mempunyai cerita. “Oom, papi, tante, zus dan mami lebih menggeletarkan sukmanya daripada bapak, mak-tjik, kakak dan ibu atau mak,” kata Madong Lubis.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Pemandangan edisi 29 Maret 1939
“Bahasa Indonesia Didalam Pergaulan Sehari-hari” karya Madong Lubis dalam Kongres Bahasa Indonesia Tahun 1954 28 Oktober – 2 November di Medan (1954)
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/2dcba3833a408c306a7f37165f038a2a.jpeg)