Persatuan Timur Besar dan Cikal Bakal RMS yang Ingin Jadi Provinsi ke-13 Belanda Setelah Menolak RIS
Pada awal kemerdekaan, Persatuan Timur Besar (PTB) menolak kemerdekaan Indonesia. Indonesia merdeka, benar-benar merdeka, memisahkan diri dari Belanda. Sedangkan PTB berkeinginan merdeka tetapi tetap memiliki hubungan dengan Kerajaan Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Persatuan Timur Besar Tolak Kemerdekaan Indonesia, Pun Kemudian Tolak Republik Indonesia Serikat
Anies Baswedan Sebut Presiden RIS Mr Assaat, Ini Faktanya dan Nama Negara-Negaranya
Seberapa Luas Wilayah Republik Indonesia Semasa Jadi Bagian dari Republik Indonesia Serikat
PTB didirikan oleh orang-orang Indonesia Timur yang ada di Jakarta pada Februari 1946. Figeleyn dari Ambon, dalam rapat umum PTB pada Januari 1947 di Jakarta, menegaskan dengan suara lantang:
Kami hanya tahu satu bendera dan tidak akan pernah tahu yang lain: merah, putih, dan biru. Dan untuk lagu kebangsaan kita: Mengapa orang ingin merampas Wilhelmus yang indah itu dari kita? Kita tidak ingin yang lain.
Maka, ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk, PTB juga menolak keberadaan RIS. PTB menyatakan, rakyat Ambon memutuskan hubungannya dengan Republik Indonesia dan RIS. Tindakan ini mereka sebut sebagai upaya menentang upaya penaklukan negara-negara bagian oleh salah satu negara bagian.
Maka pada 25 April 1950, dideklarasikanlah Republik Maluku Selatan oleh Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pendirian RMS sebenarnya tak ada dalam rencana kelompok masyarakat di Ambon yang menginginkan Maluku sebagai provinsi ke-13 dari Belanda.
Pernyataan PTB, seperti dikutip koran Belanda berbunyi:
Apa yang dilakukan Republik dalam beberapa bulan terakhir adalah pelanggaran berkelanjutan terhadap perjanjian dan konstitusi. Ambon tidak mau lagi berdamai dengan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Rakyat Ambon menyatakan akan melepaskan diri dari Indonesia Serikat yang telah diserang dan dikuasai oleh Republik Indonesia (Yogya) dengan melanggar perjanjian dan konstitusi, untuk bekerja sama sebagai kekuatan yang bebas dan mandiri dengan bangsa-bangsa lain demi kebaikan bersama umat manusia, bebas dari tirani.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Leeuwarder Courant, 28 Desember 1977,
Twentsch DagbladTubantia, 5 Mei 1950,
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi