Lincak

Bukan Sin Po yang Memuat Pertama Kali Lagu 'Indonesia Raya', Melainkan Koran di Bandung

Saat bendera Merah Putih dikibarkan setelah pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lagu
Saat bendera Merah Putih dikibarkan setelah pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lagu "Indonesia Raya" dinyanyikan scara spontan mengiringi pengibaran bendera. WR Supratman mencipta lagu ini, liriknya pertama kali dimuat di koran dwimingguan Persatoean Indonesia edisi 1 November 1928 (foto: repro buku 'dari proklamasi ke perang kemerdekaan', 1987)


Pada saat bendera Merah Putih dikibarkan setelah pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan, lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan secara spontan. Tanpa dirigen, karena kata Sukarno tak ada persiapan. Lagu itu dinyanyikan untuk mengiringi pengerekan Merah Putih.

Oohya! Baca juga ya:

Pasang Bendera Kecil di Sepeda Menjelang Sumpah Pemuda 1928, Ada Pandu yang Dipukuli Polisi

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

10 Juta Bendera Merah Putih Kecil dari Kertas Disebar Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Pada 17 Agustus 1945 Bendera Merah Putih Dikibarkan di Tiang Bambu Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Upacara 17 Agustus di Genangan Rob, Warga Timbulsloko Bacakan Proklamasi Mimpi-Mimpi Kami

Lagu “Indonesia Raya” dicipta WR Supratman setelah Kongres Pemuda Indonesia Pertama lalu dibawakan setelah pembacaan Sumpah Pemuda di Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Oktober 1928, tanpa lirik. Lirik lagu “Indonesia Raya” kemudian dimuat di koran yang terbit di Bandung, Persatoean Indonesia, di edisi Nomor 8, terbit 1 November 1928. Tiga stanza lirik yang dibuat Supratman dimuat semua di koran milik PNI ini.

Redaksi Persatoean Indonesia memberi pengantar pendek:

Rantjangan dari salah satoe lagoe kebangsaan Indonesia jang telah dinjanjikan dalam Rapat dari pemoeda-pemoeda Indonesia tanggal 28 Oktober j.l. di Indonesisch Clubgebouw di Kramat Weltevreden.

Pemuatan ini belum menyertakan notnya. Karenanya, di edisi ini ditulis pengumuman bahwa notasi “Indonesia Raya” akan dimuat pada Persatoean Indonesia edisi Nomor 9 yang akan teribt pada 15 November 1928, seperti termaktup dalam pengumuman yang disampaikan di bawah lirik “Indonesia Raya” Stanza III : “Noten dari lagoe ini akan dimoeat dalam PI No 9”.

Tapi, begitu edisi 9 yang ditunggu-tunggu pembaca terbit, di sana tak ditemukan pemuatan not “Indonesia Raya”. Rupanya Persatoean Indonesia mengharga WR Supratman dan Sin Po yang menjual lirik dan notasi “Indonesia Raya”. Sin Po telah mencetak lagu itu berikut notasi dengan Supratman sebagai penerbit, lalu dijual seharga 20 sen. Persatoean Indonesia ikut membantu penjualan “buku” lagu “Indonesia Raya” itu, dan membuat pengumumannya di edisi Nomor 10 yang terbit pada 1 Desember 1928. Sin Po mencetak 5.000 eksemplar.

Sin Po memuat not dan lirik “Indonesia Raya” di edisi majalah pada 10 November 1928. Judul lagu ditulis hanya “Indonesia”. Yang dimuat hanya stanza pertama.

Sebelum lagu “Indonesia Raya” dibawakan secara intrumentalia di Kongres Pemuda Indonesia Kedua, rupanya, lagu ini telah disebarkan di kalangan Pandu Jong Indonesia. Namun pada saat para anggpta Pandu itu belajar me nyanyikannya di lapangan rumput Jalan Kawi, mereka didatangi polisi dan dilarang menyanyikannya. “Dianggap oleh pihak polisi ‘berbahaya bagi ketenangan dan ketenteraman umum’ (demikian bunyi istilahnya zaman itu),” tulis Frits KN Harahap, salah satu anggota Pandu Jong Indonesia saat itu.

Karena alasan itu pula, Ketua Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Sugondo Joyopuspito, menyampaikan kepada WR Supratman agar tidak membawakannya besera liriknya, melainkan cukup instrumentalia saja. Sugondo menyebut “Indonesia Raya” tidak dinyanyikan di kongres karena syairnya ada kata-kata “Indonesia”. “Perkataan ini dalam rapat umum yang pertama menyebabkan insiden yang hebat karena polisi berpendapat bahwa ‘Indonesia’ adalah pengertian politik dan oleh karena itu tidak boleh disebut dalam rapat pemuda yang dilarang membicarakan politik. Saya khawatir jika lagu yang penuh dengan perkataan ‘Indonesia’ dinyanyikan akan timbul insiden lagi,” tulis Sugondo.

Sebelum Supratman memainkan lagunya, Sugondo meminta pendapat dari Van der Plas selaku wakil Penasihat Urusan Pribumi. Namun, Van der Plas justru menyarankan agar ia menghubungi komisaris polisi yang hadir di kongres itu. Tentu saja Sugondo tidak menghubungi komisasir polisi yang di hari pertama kongres sudah menginterupsi kongres. Pada malam pembukaan, seperti dilaporkan Darmo Kondo edisi 31 Oktober 1928, komisaris melakukan interupsi ketika peserta kongres dari perkumpulan teosofi mengatakan “bendera kemerdekaan Indonesia”. Pada esok siangnya, menurut Darmo Kondo edisi 1 November 1928, komisaris polisi melakukan interupsi lagi ketika seorang peserta kongres menyebut “semangat persatuan Indonesia” dan membandingkan semangat dengan Inggris dan Belanda.

Sugondo menyampaikan saran kepada Supratman agar liriknya tidak dinyanyikan. “Jangan nyanyikan dengan perkataan-perkataannya. Pakailah do, re, mi, sol saja,” kata Sugondo.

“O, tidak usah saya nyanyikan. Saya membawa biola saja,” jawab Supratman. Rupanya Supratman memang menyiapkan diri tidak menyanyikannya, sebab ia sudah membawa biola.

Di syair lagu “Indonesia Raya”, Supratman memang menulis banyak “Indonesia”. Seperti yang bisa dilihat di syair yang dimuat koran Persatoean Indonesia edisi 1 November 1928, ada “Indonesia tanah airku”, “Indonesia kebangsaanku”, “Indonesia bersatu”, “Untuk Indonesia Raya”.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams (1986)

“Bersifat Temporerkah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928” karya Frits KN Harahap di buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974)

“Ke Arah Kongres Pemuda II” karya Sugondo Joyupuspito di majalah Media Muda, November 1973

Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 karya Sudiro

Persatoean Indonesia edisi 1 November 1928

Sin Po edisi 10 November 1928

TiongHoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G Setiono (2008).

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image