Makna Frasa-Frasa di Naskah Proklamasi Kemerdekaan Menurut Intel Jepang
Kalangan “tua” rupanya jengkel benar dengan kelakuan para pemuda yang menculik Sukarno-Hatta. Apalagi Angkatan Darat Jepang. Maka, dalam kalimat-kalimat di naskah Proklamasi Kemerdekaan, peran pemuda disamarkan. Setidaknya, inilah interpretasi Shigetada Nishijima.
Oohya! Baca juga ya:
Informasi Apa yang Disebar Para Pemuda Penculik Sukarno-Hatta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan?
Benarkah Sukarno-Hatta Baca Proklamasi Kemerdekaan di Rengasdengklok, Seperti Kata Mahfud MD?
Pada 17 Agustus 1945 Bendera Merah Putih Dikibarkan di Tiang Bambu Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Nishijima hadir di saat naskah proklamasi disusun di rumah Laksamana Tadashi Maeda. Ia bersama koleganya sesama intel Jepang, Tomegoro Yoghizumi, diundang oleh Maeda untuk mewakili Angkatan Darat Jepang, penguasa di Jawa.
Sukarno-Hatta tiba di rumah Maeda sudah tengah malam, setelah bertemu Mayjen Nishimura. Tiba di Jakarta, Hatta membahas rapat PPKI yang batal diadakan pada 16 Agustus 1945 pagi. Selesai membahas rapat PPKI, Hatta menerima telepon dari Miyoshi, yang menyampaikan undangan dari Nishimura untuk Sukarno-Hatta.
Nishimura meminta rapat PPKI dibatalkan. Dia tak bisa lagi menjamin karena Sekutu sudah meminta Jepang mempertahankan status quo sejak pukul 13.00. Pertemuan memanas, karena Hatta bersikeras anggota PPKI akan tetap mengadakan rapat. Maeda diam-diam meninggalkan pertemuan di tempat Nishimura.
Sebelum diculik para pemuda, Hatta sebenarnya sudah menyiapkan teks proklamasi, tetapi ia lupa membawanya ke rumah Maeda. Maka, pembahasan teks proklamasi dimulai dari awal lagi. Sukarno meminta Hatta menyusun teks, alasannya Hatta berbahasa baik. Hatta meminta Sukarno yang menuliskannya, Hatta mendiktekannya.
Hatta mendiktekan kalimat pertama yang ia ambil dari pembukaan UUD di Piagam Jakarta. Namun karena kalimat itu hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, Hatta berpandangan mesti ada kalimat tambahan yang menyatakan cara menyelenggarakan revosuli nasional. Ia pun kemudian mendiktekan kalimat: Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Diskusi berlangsung, sehingga adanya coretan-coretan di naskah tulis tangan Sukarno. Jepang, menurut Nishijima, tak mau ada frasa “perebutan kekuasaan” atau “penyerahan kekuasaan”. Frasa itu akan menempatkan Indonesia-Jepang saling berhadapan dalam konflik. “Pemindahan kekuasaan” menjadi pengganti. Kata “diusahakan” diganti oleh Sukarno menjadi “diselenggarakan’.
Menurut Nishijima, frasa “pemindahan kekuasaan” dijadikan sebagai terjemahan dari gyoseiken no iten. Arti literalnya: pemindahan pengawasan administratif. Sedangkan frasa penyerahan kekuasaan dalam bahasa Jepang: shuken no joto. Tentu saja frasa ini bisa membuat Angkatan Darat Jepang lebih mendukung Sekutu. Frasa “pemindahan kekuasan” secara tersamar bisa diartikan juga sebagai pemindahan kekuasaan politik.
Sedangkan frasa “dengan cara seksama” ditafsirkan sebagai tanpa melibatkan tindakan para pemuda –yang ingin melakukan pemberontakan pada 16 Agustus 1945. Dengan frasa ini, menurut Nishijima, Mayjen Nishimiura tidak lagi menengok sebagai tindakan dari para pemuda. Terakhir, frasa “dalam tempo sesingkat-singkatnya” diartikan sebagai dilakukan sebelum Sekutu mendarat.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Mohammad Hatta, Indonesian Patriot karya CLM Penders.
Jejak Intel Jepang karya Wenri Wanhar.