Nasib Nama-Nama dari Belanda Setelah Indonesia Merdeka
Aceh pernah disebut oleh bangsa Eropa sebagai Achin. Bengkulu disebut Bencoelen, Belitung disebut Biliton, Bukittinggi disebut Fort de Kock, Sokanggo disebut Boven Digoel, Banten disebut Bantam, Tjirebon disebut Cheribon, dan sebagainya.
Orang Indonesia juga enggan menggunakan nama-nama yang berasal dari kata Belanda. Menurut Sin Po edisi April 1926:
Cheribon salandjoetken bakal diganti djadi “Tjirebon”. Kita tida taoe apa Bantam nanti ditoekar djoega djadi “Banten”.
Kita pertjaja kaloe saande di kamoedian hari orang Boemipoetra bisa memarentah sendiri, banjak nama tempat di poelo Djawa jang bakal ditoekar dengen jang aseli. Batavia barangkali diganti dengan “Djakatra” atawa “Soeda Kalapa”. Itoe nama digoenaken oleh orang Tionghoa totok dari Hokkian jang selaloe masi maoe pake teroes itoe nama jang marika poenja kake mojang goenaken waktoe Betawi masi di bawah koeasanja Sultan Bantam, hingga antara orang Tionghoa totok Hokkian sampe sekarang masi banjak jang namaken poelo Djawa “Kalapa”.
Di kota-kota kecil pun, kata Sin Po, bahkan Belanda campur tangan dalam memberi nama. Tapi, orang-orang Cina hingga dekade 1920-an itu masih tetap menggunakan nama lokalnya. Misalnya, sebelum disebut Sukabumi, nama asli yang masih sering disebut oleh orang Cina dan masyarakat lokal adalah Cikole. Tasikmalaya juga begitu. Masyarakat lokal dan Cina mengenal Tasikmalaya dengan nama Tawang. Beruntung jika nama yang digunakan oleh Belanda itu bukan diambil dari bahasa Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada 17 Januari 1950, Gubernur Militer Jakarta Letkol Daan Jahja mengeluarkan instruksi untuk lembaga sipil dan militer, agar segera mengganti nama-nama kantor yang masih memakai nama asing dengan nama Indonesia. Menurut Java Bode edisi Februari 1950, nama-nama wilayah atau jalan yang masih menggunakan bahasa Belanda juga diminta untuk diubah.
Di dalam Instruksi No 23/M itu disebutkan, nama Batavia telah diganti dengan “Djakarta”. Nama “Meester Cornelis” diganti dengan “Djatinegara”. “Koningsplein” diganti “Gambir”. Jika lewat 1 Maret 1950 masih ada pengiriman surat yang menggunakan nama lama, surat tersebut akan dikembalikan ke si pengirim.
Pemerintah Republik Indonesia pun memilih menggunakan Kalimantan daripada Borneo, memilih nama Sulawesi daripada Celebes, menggunakan Bogor daripada Buitenzorg. Termasuk juga memakai Irian daripada Nieuw Guinea.
Bahkan, nama-nama lokal pun kemudian juga menjadi permasalahan, seperti yang dicatat Denys Lombard:
Bahkan beberapa penyebutan dalam bahasa daerah dipermasalahkan kembali dan di Sumatra Utara diputuskan untuk mengembalikan nama asli Kota Radja, yaitu Banda Aceh. Kecenderungan itu tidak hilang bersama padamnya api perang Kemerdekaan, dan pada tahun 1972 sebuah polemik masih berkembang di sekitar nama kota terbesar di Sulawesi Selatan. Makassar dianggap terlalu kolonial dan nama itu diganti secara resmi menjadi Ujung Pandang, yang pada abad ke-17 dipakai untuk menyebutkan ibukota para Sultan. Sejalan dengan itu, nama-nama jalan dan wilayah yang di kota-kota besar sering kali mengacu pada geografi negeri induk kolonial digantikan secara sistematis dengan penamaan baru yang diambil dari geografi atau sejarah nasional. Semua nama yang sedikit banyak berbau Eropa dilarang dank arena itulah “Hotel des Indes” di Jakarta diberi nama baru “Hotel Duta Indonesia, sedemikian rupa sehingga singkatan HDI dapat dipertahankan .
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Nusa Jawa: Silang Budaya karya Denys Lombard.