Kedai Kopi Pernah Menjadi Persoalan di Semenanjung Malaya
Ada masanya, kedai kopi dipermasalahkan oleh para orang tua. Itu terjadi di Semenanjung Malaya, ketika anak-anak muda lebih senang menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi dan di tepi-tepi pantai atau di tepi-tepi jalan. Hal itu sudah terjadi di kampung-kampung.
Oohya! Baca juga ya:
Kopi Tubruk di Kamp Interniran Boven Digoel
Apa Teman Ngopi Pagi di Masa Lalu?
Ngopi Pagi Gara-gara Bus yang akan Dipakai Piknik Wartawan pada 1932 Terlambat Datang
Nikmatnya Ngopi Pagi di Indonesia yang tak Bisa Didapatkan di Amerika Serikat
Saran Dokter Saraf Amerika Soal Ngopi Pagi Ini Sudah Dilakukan Orang Indonesia Sejak Dulu
Majalah Majlis edisi 31 Januari 1935 memuat tulisan yang mempersoalkan hal itu, dan berharap kepada penghulu kampung yang gemar membaca koran, mengajak ajak-anak muda itu ikut gemar membaca koran.
Kemudian di edisi 1 April 1935, Majlis menulis:
Tetapi Orang Melayu mana-mana yang tiada berpekerjaan itu ialah masing-masing dengan menghabiskan masanya menunggu di kedai kopi, berhari-harian atau berjalan ke hulu ke hilir dengan tak tahu apa yang patut hendak dikerjakannya buat keselamatan dirinya.
Pada hal, ada beratus-ratus pekerjaan yang di kelilingnya yang tiada terpandang pada matanya.
Pada 1936, kasus ini masih menjadi pembicaraan. Majalah Saudara edisi 16 Mei 1936 juga menulis soal kegiatan para pemuda Melayu yang nongkrong di kedai kopi:
Maka kebanyakan pemuda2 kita sekarang selalu membuangkan masa dengan percuma buat bergebang2 kosong sahaja di merata2 kedai kopi dan di tepi2 jalan biarpun kita kosong asal jangan membuat pekerjaan.
Tulisan di Saudara ini juga menyinggung soal betapa disiplinnya orang-orang Inggris yang perlu ditiru oleh anak-anak muda Melayu:
Kebanyakan kita memang tak ada jadwal waktunya bagi membuat sesuatu pekerjaan. Sebab itulah selalu membuangkan masa dengan percuma. Lihat bangsa2 di sebelah Barat tiada sedikit pun membuang masa dengan sia2. Kerana mereka sangat mengguna dan mehargakan masa walau semenit sekalipun hingga terbit satu perumpamaan kepada orang Inggeris, katanya “masa itu wang” artinya masa itu harganya sama dengan wang. Karena jikalau tiada masa bila pula kita boleh mencari wang bagi menggunakan kehidupan diri kita dengan sebab itulah mereka itu tersangat mehargakan masa hingga penuh dengan pekerjaan sahaja.
Shaer almarhoem beginda Sultan Abubakar di negeri Johor, yang ditulis pada 1896 oleh Na Tian Piet. Syair itu menggambarkan betapa kedai kopi begitu ramai oleh pengunjung, sehingga mereka lupa waktu sembahyang. Apa lagi warong djoeal kopi. Siang malam tiada jang sepi. Malam diterangkan beratoes api.
Kedai-kedai itu mempekerjakan gadis-gadis Melayu, dan itulah yang membuat pemuda-pemuda Melayu gemar mendatangi kedai-kedai kopi. Bukan semata untuk ngopi, melainkan untuk menghibur diri. Seperti digambarkan di Saudara edisi Oktober 1931:
Selalu jua terdengar pemuda-pemuda bangsa itu berkata sama sendirinya atau mengajak kawan-kawannya itu berjalan dengan berkata "marilah kita pergi berjalan di kedai Melayu yang ada .... Itu, sekurang-kurangnya dapat kita memuaskan nafsu pemandangan, kerana masa perempuan-perempuan kita menjadi pelayan di merata-rata kedai-kedai kopi dahulu selalu pemuda-pemuda Melayu itu datang menghibur hatinya dengan bergurau-gurau.
Priyantono Oemar