Menjaga Laut dengan Rokat Tase, Apa Itu?
Lebih dari 125 nelayan Masalembu menggelar acara rutin petik laut. "Kegiatan yang dilakukan para nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan Rawatan Samudra ini merupakan wujud syukur atas karunia sang pencipta dengan melimpahnya hasil laut," ujar Ketua Rawatan Samudra, Matsehri, dalam rilis yang diterima 20 Juli 2023.
Tradisi budaya yang diwariskan oleh leluhur itu rutin diadakan satu tahun sekali. Tepatnya memasuki pertengahan Juli. Yaitu saat musim ombak laut tidak tinggi dan cuaca begitu bersahabat. Inilah musim nelayan yang panen ikan.
Petik laut mereka sebut sebagai rokat tase. "Tiga hari sebelum hari petik laut, mereka mengaji di setiap pangkalan. Lalu pada hari petik laut digelar, dilakukan istighotsah dan doa bersama, diakhiri dengan pawai kapal nelayan yang dihias dengan pernak-pernik," jelas Jailani, panitia rokat tase.
Dalam acara petik laut ini para nelayan juga menyampaikan pesan bahwa laut merupakan sumber kehidupan. Karena itu wajib dilindungi dan dijaga. Hampir setiap tahun hasil laut nelayan mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari yang dahulunya bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, lalu menyusut menjadi 600-500 kilogram.
Matsehri menjelaskan, penyebab penurunan tangkapan nelayan ini ada tiga faktor. Pertama, yakni kerusakan ekosistem laut Masalembu yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan. Mereka mengeruk ikan tanpa pandang bulu, bahkan sampai terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan ikut hancur. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi.
Kedua, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan eksositem laut Masalembu terancam. Tahun 2022 silam kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Tidak hanya itu pada 2023 kemarin juga ada kapal kecelakaan dan mencemari perairan sekitar. Dilewatinya perairan Masalembu oleh kapal-kapal besar membuat keberadaan ekosistem laut seperti terumbu karang rusak. Keberadaan kapal-kapal besar tersebut menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem laut Masalembu.
Ketiga, faktor perubahan iklim menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Sebab dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu. Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan, selain itu peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkisisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan. Begitu pula cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan.
Berangkat dari ketiga faktor tersebut, maka sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut serta bagaimana upaya untuk menjaga eksositem laut Masalembu yang menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur. Perusakan demi perusakan, terutama oleh kapal cantrang, jalur lalu lintas laut serta potensi adanya tambang pasir laut pasca diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menambah kerentanan nelayan dan ekosistem laut di Masalembu.
"Karena itu, kami Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA dalam kegiatan petik laut ini menyampaikan sebuah pesan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep," ujar Matsehri.
Pertama, tindak tegas kapal cantrang dan larang segera keberadaan cantrang, lalu segera tetapkan kawasan Masalembu sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar tidak ada lagi kapal cantrang yang menjadi ancaman. Kedua, segera tetapkan kawasan laut masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut di sana, serta memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tidak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan. Ketiga, menolak keberadaan PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Karena keberadaannya akan semakin memperparah ekosistem laut Masalembu, serta menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional.
Terakhir, nelayan Masalembu benar-benar mengharapkan adanya produk dan implementasi hukum yang berpihak pada nelayan. Hal itu penting, agar nelayan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri seperti kejadian pembakaran dua kapal cantrang di perairan selatan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat beberapa pekan yang lalu. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mungkin nelayan diam saja ketika lautnya dirusak. Kami juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib nelayan Masalembu seperti kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera. Meskipun katanya Masalembu banyak ikan, tetapi nelayan banyak yang terjebak dalam jaring kemiskinan. Sehingga hal ini juga patut menjadi perhatian.
Priyantono Oemar