Sekapur Sirih

Jalan ke Baduy. Kukuh Pada Aturan Adat, tak Semua Orang Luar Bisa Memahami Baduy

Anak-anak Baduy Dalam. Untuk menjalankan aturan adat secara cermat, anak-anak dijauhkan dari pendidikan sekolah modern. Mengapa mereka menolak pendidikan sekolah? Tak semua orang luar bisa memahami Baduy.
Anak-anak Baduy Dalam. Untuk menjalankan aturan adat secara cermat, anak-anak dijauhkan dari pendidikan sekolah modern. Mengapa mereka menolak pendidikan sekolah? Tak semua orang luar bisa memahami Baduy.

Sadim berusia 60 tahun. “Cucu sudah tujuh,” ungkap Sadim yang dikaruniai tiga anak dari istrinya, Sani.

Sadim sudah dijodohkan dengan Sani sejak usia lima tahun. Pada usia 16 tahun, ia ditanya lagi oleh orang tua mengenai jodohnya itu, berubah pikiran atau tetap bersedia menikahi Sani.

Jika saat itu Sadim menolak Sani, orang tua akan mencarikan jodoh baru. Tapi biasanya mencari jodoh di usia remaja sangat sulit di Baduy Dalam, karena semua sudah dijodohkan sejak usia lima tahun. “Jika tak dapat jodoh baru, maka orang tua mempersilakan untuk mencari jodoh sendiri, biasanya dapatnya di Baduy Luar. Jika mendapat jodoh di Baduy Luar, konsekuensinya harus keluar dari Baduy Dalam.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tak ada bidan yang masuk di Baduy dalam, apalagi dokter. Persalinan dibantu oleh paraji. Sani adalah seorang paraji di kampung Baduy Dalam, Ciebo. Banyak anak perempuan di Baduy yang menikah sebelum usia 17 tahun. Narsih, misalnya, usianya baru 15 tahun. Saat ini tengah mengasuh bayinya yang baru berusia dua bulan. Di teras rumahnya, di kampung Baduy Luar, Ciboleger, ia menjual beragam produk kerajinan, termasuk madu. Saya membeli madu pahit darinya.

Bagaimana jika ada masalah kesehatan dengan ibu hamil atau bayi yang baru lahir? Ada dukun yang melakukan pengobatan herbal. “Kalau tidak sembuh, itu sudah nasib,” kata Sadim.

Jika sehat, begitu ia tahu orang tuanya, ia akan segera mendapat pendidikan adat di keluarga sampai usia 10 tahun. Di usia 11 tahun, pendidikan adat diserahkan kepada Jaro Tangtu, pembantu puun (kepala suku) yang bertanggung jawab terhadaap urusan adat). Di usia 10-11 tahun itu pula, anak-anak Baduy Dalam mulai diajak ke Baduy Luar, dari semula hanya diajak ke ladang.

Sejak dini berjalan kaki jauh membawa beban, tak heran jika mereka memiliki fisik yang kuat. Pengunjung yang yang mendatangi Cibeo memerlukan waktu 5-7 jam perjalanan dari Ciboleger, remaja Cibeo bisa menempuhnya dalam waktu 1-1,5 jam. Potensi menjadi atlet, tetapi bolehkah mereka menjadi atlet?

Mereka disiplin menjalankan adat dengan cara menjauhkan anak-anak Baduy dari sekolah modern. Adat mereka tak mengenal individualitas. Maka, pakaian mereka pun hanya putih hitam. Semua sama. Penulis Belanda T van Deel pernah mengulas Safin pada 1991 di koran Belanda, Trouw. Safin adalah anak Baduy Dalam pertama yang masuk sekolah. Tak disebutkan tahun Safin masuk sekolah.

Tapi kemudian ia dianggap sebagai laki-laki kecil yang sombong, yang selalu berjalan dengan membawa buku untuk dibaca di tempat yang mencolok. “Dia sebenarnya dianggap sebagai pengkhianat, sebagai seorang yang bersekutu dengan dunia luar,” tulis van Deel.

Safin menjadi contoh anak Baduy yang parangsa. Tidak menyadari keberadaannya. Falsalah Baduy mengajarkan: Ulah cicing di parangsa. Kudu cicing di rumasa. Rumasa cicing di adat (Jangan tidak menyadari keberadaan. Harus memegang kasadaran diri. Kesadaran menjalankan aturan adat).

Priyantono Oemar