Lincak

Harmoko Soal Tudingan Brutus Setelah Meminta Presiden Mundur, Bisa Terjadi Pertumpahan Darah

Harmoko sebagai ketua umum Golkar sekaligus sebagai ketua DPR/MPR. Golkar mendukung Soeharto maju menjadi presiden lagi, begitu gelombang gerakan mahasiswa 1998 membesar, Harmoko bersama pimpinan DPR meminta Presiden Soeharto mundur. Ia pun dituding sebagai Brutus. Harmoko menyebut, jika salah perhitungan, bisa terjadi pertumpahan darah.
Harmoko sebagai ketua umum Golkar sekaligus sebagai ketua DPR/MPR. Golkar mendukung Soeharto maju menjadi presiden lagi, begitu gelombang gerakan mahasiswa 1998 membesar, Harmoko bersama pimpinan DPR meminta Presiden Soeharto mundur. Ia pun dituding sebagai Brutus. Harmoko menyebut, jika salah perhitungan, bisa terjadi pertumpahan darah.

Harmoko menjabat menteri sampai tiga periode di masa pemerintahan Soeharto. Ia juga menjadi ketua umum DPP Golkar yang mendukung Soeharto menjadi presiden lagi. Tapi ketika gelombang gerakan mahasiswa 1998 membesar, Harmoko yang menjadi ketua DPR/MPR beserta jajaran pimpinan DPR/MPR meminta Soeharto mundur. Di internal Golkar, Harmoko pun dituding sebagai Brutus.

Oohya! Baca juga ini ya:

Cerita Harmoko Meminta Presiden Mundur pada Mei 1998, Sehingga Ia Dituding Sebagai Brutus

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

25 Tahun Reformasi, Nasi Bungkus 1998, Mahasiswa Bukan Pasukan Kaleng-kaleng

Senin, 18 Mei 1998, pukul 16.00 WIB, Harmoko meminta Soeharto mundur. Malam harinya, di rapat pleno Golkar yang dimulai pukul 19.30 WIB dan berakhir pukul 00.00 WIB, Harmoko dituding sebagai Brutus.

"Apa sesungguhnya yang terjadi di balik perubahan sikap Harmoko, yang amat drastis, ketika itu?" tanya Tim Penulis Autobiografi Harmoko Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi.

Autobiografi yang diluncurkan pada 25 Februari 2023 dan dicetak untuk kalangan terbatas dan tidak diperjualbelikan itu ditulis oleh Suryansyah, Masduki Baidlawi, Muchlis Dj. Tolomundu, Usman Sosiawan, dan Sulton Mufit, dengan editor Nanang Junaedi. Koordinator penerbitan dipegang oleh Azisoko Harmoko. Harmoko meninggal pada 4 Juli 2021, dama usia 82 tahun.

Dalam kata pengantar autobiografi, Tim Penulis menulis sebagai berikut:

Benarkah ia telah berkhianat dan menjadi Brutus bagi Soeharto, seperti dituduhkan beberapa kalangan kepadanya?

Melalui autobiografi politik ini, Harmoko mencoba mengurai jawaban lewat paparan fakta yang ia ketahui, lalu merajut dan menuliskannya menjadi cerita, meski diakuinya tidaklah mungkin terhindar dari subjektivitas.

”Saya tidak sedang menulis sejarah. Saya sebatas memaparkan fakta dari perspektif yang saya alami dan ketahui secara pasti,” terangnya, saat mendiskusikan penulisan autobiografi ini.

Harmoko bahkan merasa tak harus peduli, dirinya dianggap berkhianat atau justru menjadi penyelamat. Ia memilih bersikap legawa, menerima dan memahami secara bijak pandangan orang lain tentang dirinya. Sikap ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pimpinan MPR pada detik-detik dramatis menjelang

Pak Harto lengser, pasti mengandung risiko. “Orang bebas memberikan penafsiran. Yang jelas, pimpinan MPR ketika itu dihadapkan pada keharusan untuk mengambil keputusan dan langkah konstitusional secara cepat, tepat, dan cermat. Salah perhitungan sedikit, risikonya sangat besar. Bisa terjadi pertumpahan darah,” papar Harmoko.

Priyantono Oemar