Cerita Harmoko Meminta Presiden Mundur pada Mei 1998, Sehingga Ia Dituding Sebagai Brutus
Di Rapat Pleno Golkar, 18 Mei 1998 malam, Harmoko dan Abdul Gafur dicerca pengurus Golkar. Rapat berlangsung dari pukul 19.30 hingga 00.00 WIB. Pernyataan keras para pengurus terkait dengan jumpa pers pimpinan DPR sore harinya yang meminta Presiden Soeharto mundur.
Oohya! Baca juga ya: 25 Tahun Reformasi, Nasi Bungkus 1998, Mahasiswa Bukan Pasukan Kaleng-kaleng
Kata Harmoko di halaman 482 buku autobiografinya, Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi (diluncurkan pada 25 Februari 2023 dan dicetak untuk kalangan terbatas dan tidak diperjualbelikan):
Ada lagi pertanyaan – lebih tepatnya tuduhan – yang menyebutkan: kesetiaan dan kepatuhan saya serta Abdul Gafur kepada Ketua Dewan Pembina sudah sirna. Yang lebih tajam lagi, muncul penilaian bahwa kami berdua telah menohok Pak Harto dari belakang. Layaknya Brutus menikam Julius Caesar.
Semua tuduhan itu tentu tidak benar. Sebab, yang terjadi, suasana di balik penentuan sikap pimpinan DPR memang menuntut proses yang cepat. Yang bergulir dan tengah berlangsung di Gedung DPR demikian mencekam. Keputusan dipertaruhkan hanya dalam hitungan detik.
Desakan massa mahasiswa dan masyarakat yang secara serentak meminta Pak Harto mundur, mengalir deras ke DPR. Sementara, bukankah berbagai kalangan – termasuk Pak Harto sendiri – menegaskan bahwa bola kini di tangan Dewan?
Dalam proses politik yang bergulir demikian cepat dan sangat berisiko jika terlambat atau salah mengambil keputusan, saya harus mengambil peran utama selaku Ketua DPR. Benar, pada saat bersamaan saya adalah Ketua Umum DPP Golkar - posisi yang mengharuskan saya mengonsultasikan semua keputusan penting menyangkut DPP kepada Ketua Dewan Pembina. Masalahnya, dalam situasi dan kondisi yang begitu sempit, ditambah kerasnya keinginan massa untuk melakukan gerakan ke Istana dan Cendana, juga kuatnya pertimbangan mencegah pertumpahan darah serta pertimbangan strategis lainnya, tidaklah mungkin saya berkonsultasi dengan Pak Harto.
Harmoko meninggal pada 4 Juli 2021, dama usia 82 tahun. Autobiografinya ditulis oleh Suryansyah, Masduki Baidlawi, Muchlis Dj. Tolomundu, Usman Sosiawan, dan Sulton Mufit, dengan editor Nanang Junaedi. Koordinator penerbitan dipegang oleh Azisoko Harmoko. Di buku itu, Harmoko memaparkan seputar tuntutan pimpinan DPR agar Soeharto mundur di Bab 10 dalam judul “Meminta Presiden Mundur”, seperti yang dimuat utuh di bawah ini:
Meminta Presiden Mundur
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Senin 18 Mei, suasana di halaman Gedung DPR tidak berubah. Masyarakat dan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta dan kampus-kampus lain di Jawa serta luar Jawa, tak pernah surut semangat. Mereka bertahan di Gedung DPR dan terus menggelorakan tuntutan, sekaligus mendesak Presiden Soeharto untuk mundur.
Tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru, ada pemandangan sedemikian kolosal seperti sekarang. Siang dan malam mahasiswa menduduki halaman gedung wakil rakyat. Mereka menjadi simbol dari tuntutan kolektif seluruh lapisan masyarakat. Khususnya berkenaan dengan datangnya era baru, era reformasi, yang wujud konkretnya dalam jangka pendek adalah mundurnya Pak Harto dari jabatan Presiden.
Jika masyarakat sudah demikian kuat aspirasinya, pantaskah Dewan bersikap lain? Apa artinya Dewan jika mengingkari hati nurani rakyat, pemilihnya sendiri? Masih pantaskah mereka disebut “Dewan Perwakilan Rakyat”, jika dalam hal ini tak bisa mewakili hati nurani rakyatnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu berkecamuk sedemikian rupa dalam benak masyarakat dan juga pimpinan Dewan. Tuntutan dan desakan yang begitu kencang, harus disikapi tidak lagi dalam hitungan hari. Risikonya terlalu besar. Bukan lagi risiko bagi perorangan, melainkan bagi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.
Hari masih pagi ketika saya memasuki ruangan kerja. Saya lihat, beberapa pimpinan lain juga sudah hadir. Pukul 08.30, Buya Ismail, Syarwan Hamid, dan Fatimah Achmad bergabung ke ruangan saya. Selang setengah jam, Abdul Gafur muncul dan mengambil tempat duduk kosong di antara kami. Pembicaraan kami terfokus pada bagaimana DPR menyikapi perkembangan politik yang semakin mencemaskan. Berbagai kalangan mendesakkan tuntutan agar DPR, pada saat-saat seperti ini, segera mengambil sikap. Arahnya sangat jelas dan kami pun sudah berbulat hati: harus mengeluarkan pernyataan pers terhadap situasi yang meminta Pak Harto mundur.
Untuk merumuskan kandungan pernyataan pers, saya dan temanteman sepakat terlebih dahulu mengundang pimpinan fraksi-fraksi DPR untuk berkonsultasi. Para pimpinan fraksi diundang satu persatu ke ruangan saya. Dengan tetap didampingi pimpinan Dewan yang lain, saya menjelaskan kepada mereka tentang hasil konsultasi dengan Presiden Soeharto pada Sabtu siang. Juga, perihal kesepakatan Dewan untuk membuat pernyataan. Seluruh pimpinan fraksi pada prinsipnya memberikan pandangan yang sama.
Hasil konsultasi dengan pimpinan fraksi itu kemudian kami bahas di lingkup internal pimpinan Dewan. Termasuk, mengkaji secara mendalam perkembangan situasi yang cepat berubah, khususnya di dalam dan di luar Gedung DPR. Rapat juga membahas dan memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Misalnya, kemungkinan Pak Harto tidak mau mengundurkan diri, lalu mengeluarkan SOB – keadaan darurat –berikut implikasi yang ditimbulkan.
Pikiran seperti itu hanya muncul sesaat, karena kami kemudian memusatkan perhatian pada persoalan yang lebih besar lagi. Yakni, semakin kuatnya aspirasi dari bawah yang menginginkan Pak Harto mundur. Juga, adanya informasi tentang gerakan massa yang akan berunjuk rasa ke Istana dan Cendana, sementara sampai sejauh ini aparat keamanan sepertinya belum optimal bersiaga.
Pada titik ini, pernyataan pers menjadi suatu hal yang mendesak dikeluarkan, karena tiga alasan. Pertama, fakta bahwa aspirasi dari bawah yang menghendaki Pak Harto segera lengser semakin kuat. Kedua, munculnya keinginan massa untuk bergerak ke Istana dan Cendana, apabila tidak ada perkembangan positif dari pimpinan DPR. Rumor yang kami dengar, massa bahkan hendak mengarahkan serangan kepada figure pribadi Pak Harto.
Ketiga, pertimbangan pimpinan Dewan tentang bakal munculnya pertumpahan darah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Peristiwa 13-15 Mei, terkait dengan ketidakpastian politik di tanah air. Ikut menjadi pertimbangan adalah hasil pertemuan kami dengan Jenderal Wiranto di Dephankam pada Minggu sore, yang menyebut rencana Pak Harto menerbitkan SK pemberlakuan keadaan darurat – meskipun sampai saat ini belum terlihat pelaksanaannya.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan tadi, kami memutuskan untuk kembali melakukan konsultasi dengan Presiden. Saya kemudian menugaskan Sekjen DPR untuk membuat surat, meminta waktu konsultasi dengan Presiden pada 19 Mei setelah pukul 12.00. Langkah kami selanjutnya adalah merumuskan kalimat yang tepat dan padat dalam sebuah pernyataan pers.
Isi pernyataan pers itu memang hanya beberapa alinea, tetapi terasa begitu lama menemukan kata-kata yang pas. Setiap kata punya arti, dan berimplikasi luas jika salah memilih. Lebih-lebih, ini menyangkut masa depan bangsa dan negara. Karenanya, diskusi di antara kami berlangsung alot, bahkan sedikit menegangkan. Harus saya katakan, tidak mudah menemukan kata-kata yang tepat dan padat di tengah situasi yang mendesak seperti ini. Ada satu alinea misalnya, yang mula-mula kami rumuskan begini: “Ketua dan Wakil-wakil Ketua secara pribadi-pribadi, demi persatuan dan kesatuan bangsa, meminta Presiden Soeharto agar secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.”
Pernyataan pers akan dikeluarkan hari ini. Namun, sampai tiba waktu salat dhuhur, draft rancangannya pun belum siap. Hal yang agak memberatkan pikiran kami, terutama menyangkut pemakaian katakata: “secara pribadi-pribadi”. Tidak ada titik temu. Salah seorang di antara kami lalu mengusulkan, “Sebaiknya kita salat dhuhur dulu untuk menenangkan batin dan mohon petunjuk Allah SWT.” Usulan tersebut diterima. Kami pun bergegas mengambil air wudlu.
Salat dhuhur dilakukan berjamaah di ruang kerja saya dengan imam Buya Ismail. Usai salat, Buya Ismail memimpin pembacaan doa, mohon petunjuk dan kemudahan dari-Nya berkenaan dengan persoalan yang tengah kami hadapi. Setelah itu, kami kembali berdiskusi sekitar satu jam. Akhirnya, kami sepakat mencoret kalimat yang tadi sempat mengganjal: secara pribadi-pribadi. Pertimbangannya, pimpinan Dewan sebelumnya sudah berkonsultasi dan bersepakat dengan ketua-ketua fraksi, yang mewakili semua fraksi DPR, di samping ada rencana mengadakan rapat lanjutan dengan pimpinan fraksi pada 19 Mei.
Kita mafhum, sesuai Peraturan Tata Tertib DPR, fraksi-fraksi merupakan perpanjangan tangan dari induk-induk organisasinya. Atas dasar itu, rapat lanjutan dengan pimpinan fraksi kami pandang perlu, untuk memberikan kesempatan kepada setiap fraksi guna menyampaikan informasi kepada induk organisasinya.
Akhirnya, seperempat jam menjelang pukul 16.00, naskah berjudul Keterangan Pers sudah siap kami bacakan sebagai sikap pimpinan Dewan. Tepat pukul 16.00, kami menuju sebuah ruangan di lantai tiga. Para wartawan dalam dan luar negeri, media cetak maupun elektronik, sudah memenuhi ruangan sejak satu jam sebelumnya. Mereka sudah mendengar, sore itu akan ada keterangan pers dari pimpinan Dewan untuk menyikapi situasi politik terakhir di tanah air. Seluruh wakil ketua DPR ikut mendampingi saya.
Kendati sudah dijaga dan dikawal ketat oleh petugas, kami harus berupaya keras menembus kerumunan wartawan yang bercampur dengan mahasiswa di sepanjang lorong menuju ruangan konferensi pers. Sementara, dari halaman Gedung DPR, lamat-lamat terdengar teriakan dan yel-yel mahasiswa yang – sejak beberapa hari lalu – kencang menyuarakan tuntutan pengunduran diri Presiden Soeharto.
Tiba di ruangan konferensi pers, kami langsung disambut tepuk tangan para wartawan. Petugas berusaha membukakan jalan bagi kami untuk bisa sampai ke tempat yang sudah disediakan. Meskipun terasa letih dan kusut, saya berusaha menampakkan diri seperti lazimnya saat menghadapi teman-teman wartawan. Toh, bukan saya sendiri yang merasakan letih. Wartawan yang telah menunggu sekian lama demi tuntutan profesi pun sama-sama letih dan lelah.
Di atas meja, tepat di depan saya, berjejer sekian banyak mikrofon – dari yang disiapkan staf DPR hingga yang dipasang wartawan televisi. Tape recorder wartawan juga hampir memenuhi meja. Sementara, dari arah depan dan samping, sorot lampu kamera tertuju kepada kami. Lampu blitz mengerjap-ngerjap menerpa wajah. Sebentar lagi, saya akan berbicara atas nama pimpinan DPR, dan sesaat sesudahnya pernyataan kami akan ditulis dan disebarluaskan ke seluruh negeri, bahkan seluruh dunia. Sebuah keputusan bersejarah dibacakan, dan kami siap menanggungnya dengan segala risiko.
Setelah mengucap basmalah, saya mulai membacakan keterangan pers:
“Pimpinan Dewan dalam rapatnya hari ini telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi, termasuk Sidang Istimewa MPR dan pengunduran diri Presiden. Untuk membahas masalah tersebut, besok tanggal 19 Mei 1998 pimpinan Dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi. Hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Mekanisme tersebut ditempuh sesuai dengan peraturan Tata Tertib Dewan, karena dalam mengambil keputusan pimpinan Dewan harus bersama-sama pimpinan fraksi-fraksi. Dalam menanggapi situasi
tersebut di atas, pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.”
Sampai di sini, ruangan seperti mau pecah oleh gemuruh tepuk tangan para wartawan. Padahal, keterangan pers belum selesai saya bacakan. Setelah suasana sedikit reda, saya melanjutkan keterangan. “Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional.” Saya menutup konferensi pers dengan mengucapkan terima kasih atas ketenangan dan kesabaran para wartawan. Setelah itu, kami kembali ke ruangan kerja.
Keterangan pers pimpinan Dewan segera bergaung ke mana-mana, disiarkan pada kesempatan pertama oleh media massa. Karena konferensi pers berlangsung sore hari, radio dan televisilah yang pertama kali menyiarkan. Stasiun televisi, TVRI maupun televisi swasta, menayangkan perkembangan terakhir dari Gedung DPR dengan membuat “Stop Press” atau “Breaking News”. Stasiun radio juga silih berganti mengudarakan keterangan pers kami, sore itu juga. Hanya dalam hitungan jam, permintaan pengunduran Pak Harto oleh pimpinan DPR sudah diketahui masyarakat.
Reaksi bermunculan. Sebagian besar menyatakan dukungan terhadap sikap pimpinan DPR. Lembaga ini dinilai tanggap terhadap aspirasi rakyat. Namun, reaksi berbeda datang dari pimpinan ABRI di Cilangkap dan sebagian pengurus DPP Golkar. Sejauh yang saya ketahui, hari itu sejak pukul 17.00 s.d. 22.30 Presiden Soeharto di Cendana berturutturut menerima Mendagri R. Hartono, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menko Polkam Feisal Tanjung, KSAD Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo, Wapres B.J. Habibie, Menko Kesra Haryono Suyono, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita serta Kabakin Letjen Moetojib.
Seperti dikutip pers, usai bertemu Pak Harto, Kabakin Moetojib langsung menanggapi pernyataan pimpinan DPR. Kabakin mengatakan, “Sebaiknya, segala sesuatunya dikembalikan sesuai dengan konstitusi. Kalau mengambil keputusan-keputusan, ditanya dulu fraksi-fraksi.” Moetojib juga menyatakan, Pak Harto akan menjawab sendiri pernyataan pimpinan DPR perihal permintaan pengunduran dirinya. Kabakin tidak tahu, sebelum pernyataan pers diumumkan, pimpinan Dewan sudah berkonsultasi terlebih dulu dengan pimpinan fraksi-fraksi.
Petang harinya, pernyataan pimpinan DPR juga mendapat tanggapan dari Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, yang menggelar jumpa pers di kantor Dephankam. Di layar televisi, yang disiarkan berulang kali, Jenderal Wiranto tampil didampingi KSAD Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo, KSAL Laksamana Arief Kusharyadi, KSAU Marsekal Sutria Tubagus, Kapolri Jenderal Pol. Dibyo Widodo, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, dan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R.
Kepada wartawan, Jenderal Wiranto menegaskan bahwa pernyataan pimpinan Dewan merupakan pernyataan individu dan tidak memiliki dasar hukum, walaupun disampaikan secara kolektif. Berikut saya kutip pernyataan Menhankam/Pangab selengkapnya:
Saudara-saudara sekalian,
Terhadap pernyataan pimpinan DPR RI yang baru saja kita dengarkan bersama, maka ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR.
ABRI masih berpendapat, bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini.
Agar reformasi yang hendak dilakukan dapat berjalan dengan baik, ABRI menyarankan agar dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis. Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerja sama secara intensif.
Terima kasih
Ketika pernyataan pers Panglima ABRI disiarkan, saya sedang berada di kantor DPP Golkar. Saya memperoleh informasi tentang pernyataan itu, dan menyikapinya dengan tenang. Kami memang sengaja tidak bereaksi berlebihan. Toh, semua langkah yang ditempuh pimpinan Dewan sudah berdasarkan hasil konsultasi dengan fraksi-fraksi, termasuk Fraksi ABRI. Bukan berdasarkan pikiran satu-dua orang, melainkan hasil pembahasan dan kesepakatan bersama yang melibatkan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Dengan demikian, yang kami sampaikan benar-benar hasil kesepakatan kolektif, berarti menyangkut seluruhnya.
Syarwan Hamid, Wakil Ketua DPR/MPR yang mewakili ABRI, juga tegas menyatakan: sikap kolektif. Artinya, F-ABRI pun setuju. Memang, ada yang mempertanyakan, mengapa F-ABRI terkesan berbeda dengan sikap induknya di Cilangkap? Atau, pertanyaan sebaliknya, mengapa Cilangkap tidak mendukung sikap Syarwan yang mewakili ABRI di DPR? Terhadap pernyataan ini, terus terang, saya tidak bisa menjawab.
Saya juga tidak mau menduga-duga. Yang terang, kami memutuskannya dengan kesepakatan bulat. Tanda tangan kami, sebagai wujud persetujuan terhadap keputusan tersebut, juga tertera lengkap dalam dokumen.