Mangkunegara VII Bicara Demokrasi di Acara Halal Bihalal di Pura Mangkunegaran pada 1941
Tata karma di keraton tentu saja didasarkan pada posisi dan jabatan. Lantas, bagaimana bisa Mangkunegara VII mengadakan halal bihalal di Pura Mangkunegaran? Rupanya aturan itu tak berlaku semasa Mangkunegara VII berkuasa.
Ia membuat perubahan-perubahan di lingkungan keraton. Jika Gerakan Djawa Dipa yang dipelopori bangsawan keraton Tjokrosoedarmo memunculkan gerakan berbahasa Jawa ngoko tanpa melihat jabatan, Mangkunegara VII kemudian mengeluarkan perintah berbahasa Jawa krama sebagai tata krama resmi. Maka, jika sebelumnya pejabat yang lebih tinggi berbahasa ngoko kepada bawahannya, dengan perintah ini mereka juga harus berhabahasa krama kepada bawahan.
Tapi dalam keseharian, di lingkungan keluarga, di lingkungan pertemanan akrab, masih bisa digunakan bahasa Jawa ngoko. Pada halal bihalal di Pura Mangkunegaran 1941, Mangkunegara VII menggunakan bahasa Jawa krama dalam sambutannya.
Ia menyinggung perlunya mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan. Perlu memiliki kesiapan mengarahkan seluruh keberadaan diri ke upaya perubahan. “Jadi, kita tidak harus menunggu perubahan, tetapi kita harus secara sadar memperkenalkan semua hal baru sesuai dengan wawasan baru, tentu saja semuanya sesuai dengan kekuatan Keraton Mangkunegaran. Dengan kata lain, kita harus menunjukkan inisiatif, agar kita tidak tertinggal,” kata Mangkunegara VII dalam acara halal bihalal ke-12 di Pura mangkunegaran.
Oohya! Baca juga ya: Halal Bihalal di Pura Mangkunegaran Sudah Diadakan Sejak 1929
Perubahan atas dasar kemauan sendiri itu, menurut Mangkunegara, bisa dilakukan dengan menjalankan demokrasi. Meski ia mengakui demokrasi memiliki banyak interpretasi, tetapi ia menegaskan, “Tetapi saya percaya bahwa apa pun yang dilakukan untuk menghormati martabat kemanusiaan, bersaksi tentang suatu semangat demokrasi.”
Menghormati martabat kemanusiaan, kata Mangkunegara, adalah upaya meningkatan nilai masyarakat. “Terutama untuk pencerahan dan perluasan pikiran, atau dengan kata lain meningkatkan ketahanan spiritual,” lanjut Mangkunegara.
Ia lantas mengingatkan pidato tahunan di tahun pertama setelah naik tahta, ketika ia menegaskan dirinya sebagai pelayan tertinggi keraton. Dengan konsep ini, ia menegaskan bahwa raja ada untuk rakyat, bukan rakyat ada untuk raja. Konsep ini juga menempatkan kesetaraan derajat manusia, karenanya ia mendorong para pangeran menjadi barisan terdepan menjalankan kesetaraan derajat ini. Inilah, kata Mangkunegara VII, sebagai cara memberikan penghormatan kepada martabat manusia.
Priyantono Oemar