Dulu Muhammadiyah Dekat dengan Keraton, Mengapa Sekarang Jauh dari Istana?
Sebagai pembaharu, Muhammadiyah menjadi jauh dari kaum abangan. Abangan menjadi mayoritas saat itu, dan sepertinya hingga kini, yang menurut Muhammadiyah --seperti dikatakan Azyumardi Azra yang dikutip oleh MC Ricklefs-- tertinggal di belakang. Akibatnya, oleh Muhammadiyah, kaum abangan nyaris tidak digolongkan sebagai umat, ketika Muhammadiyah menjalankan dakwah “menjaga iman umat”.
Ricklefs nencatat, pengurus Muhammadiyah pada 1930-an kebanyakan dari Minangkabau yang tidak toileran terhadap praktik keislaman dari kaum abangan. Nahdlatul Ulama yang memiliki banyak pesantren di desa-desa, menjadi dekat dengan kaum abangan yang memang banyak tinggal di desa. Kaum abangan ini, untuk sekarang biasa disebut Islam KTP. Islam hanya di KTP.
Sebagai pembaharu, Muhammadiyah yang lahir atas pertolongan Keraton untuk mendapatkan izin kelembagaan dari pemerintah kolonial, memang juga memulai pembaharuan dari Keraton. Misal, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan melakukan pembaruan mengenai penentuan arah kiblat masjid yang saat itu sebatas menghadap ke barat. Ahmad Dahlan mengoreksinya, pertama kali dilakukan di Masjid Gedhe Kauman yang dibangun Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1773 di sebelah utara Keraton Yogyakarta.
Sebagai pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan tercatat sebagai Khatib Amin Keraton Yogyakarta pada 1896. Kepala Penghulu Keraton, Kiai Sangidu, sebagai atasan para khatib –yang membuat rekomendasi pendirian Muhammadiyah kepada Raja untuk dimintakan izin kepada pemerintah kolonial, tercatat sebagai orang pertama yang menjadi anggota setelah Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan di rumahnya. Lalu, dengan bantuan Kiai Sangidu, Muhammadiyah melakukan pembaruan lembaga kepenghuluan Keraton.
Keraton dan Muhammadiyah memiliki simbiosis mutualisme. Gerakan sosial-pendidikan Muhammadiyah, menurut Abduk Munir Mulkhan, digunakan Keraton untuk memajukan rakyat. Keraton yang dikontrol oleh pemerintah kolonial, oleh Muhammadiyah dijadikan pelindung politik.
Tapi kini, Istana Presiden lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama. Selalu ada saja pihak-pihak yang mencitrakan Muhammadiyah sebagai kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Mengapa?
Priyantono Oemar