Hari Kopi Nasional. Pilihan Minum Kopi Sri Sultan HB IX dan Sukarno di Masa Politik Genting 1950-an
Hari ini, 11 Maret 2023, merupakan Hari Kopi Nasional. Pada waktu peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1951, Sri Sultan HB IX yang merupakan wakil perdana menteri kabinet Natsir, memilih tidak menghadiri upacara peringatan proklamasi kemerdekaan. Ia menjauh dari kabinet Sukiman yang menggantikan Natsir sebagai perdana menteri.
Pada 17 Agustus itu, ia memilih minum kopi di kafe bandara bersama Adbul Halim, menteri pertahanan di kabinet Natsir. Sukiman dan M Natsir sama-sama dari Masyumi. Tetapi kemudian mereka berseberangan ketika menyikapi keputusan pemberantasan aksi-aksi yang muncul pada 1950-an. Setelah Kabinet Natsir dibubarkan pada Maret 1951 karema ada mosi dari PNI, Natsir memilihbergabung dengan PRRI, yang membuat Masyumi kemudian dibubarkan oleh Presiden Sukarno.
Mosi puncul karena Natsir membatalkan peraturan pemerintah mengenai DPRD/DPRDS. PNI menilai hal ini lebih banyak menguntungkan Masyumi.
Sistem parlementer saat itu, membuat banyak muncul mosi di parlemen, sehingga sering terjadi perombakan kabinat. Parlemen kemudian dijuluki sebagai kedai kopi.
Riak-riak politik di masa itu ternyata juga masih membuat Presiden Sukarno bersikap santai. Ia masih biasa menyeduh kopi di Istana. Ia biasa menuangkan dua sendok teh bubuk kopi ke cangkir lalu ia tambah gula satu sendok teh. Ia tuangkan air mendidih lalu ia seduh.
Pada 1966, saat Putri Beatrix menikah, Sukarno mengirimkan hadiah satu set alat minum kopi. Hadiah ini berupa produk kerajinan perak dari Yogyakarta. Duta Besar Indonesia di Belanda, Soedjarwo Tjondronegoro yang diberi tugas menyerahkan hadiah itu.
Pers Belanda menciumnya. Muncullah karikatur Sukarno di Het Vrije Volk pada 13 Agustus 1966. Sukarno mengenakan baju kebesarannya dan mengenakan peci. Ia digambarkan membawa baki berisi set alat minum kopi dilengkapi tulisan Maleise Koffie (Kopi Melayu).
Di bagian bawah karikatur ada tulisan: “...sekarang dengan konfrontasinya, ia datang untuk minum kopi”. Belanda masih tidak melupakan konfrontasi Indonesia-Belanda setelah proklamasi kemerdekaan sehingga memunculkan berbagai perundingan, dan terakhir perundingan di Konferensi Meja Bundar.
Priyantono Oemar