Egek

Kiara Ingatkan Soal Tanggul Laut Raksasa Jakarta, Seharusnya Dijadikan Hutan Mangrove

Pembangunan tanggul laut diprotes Kiara. Hutan mangrove dinilai Kiara sebagai solusi yang tepat (foto: amin madani/republika).
Pembangunan tanggul laut diprotes Kiara. Hutan mangrove dinilai Kiara sebagai solusi yang tepat (foto: amin madani/republika).

Rencana pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di pesisir Teluk Jakarta kembali digaungkan Presiden Jokowi. Proyek ambisius tersebut kembali didorong oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Peradilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyebut, kembalinya proyek itu disampaikan oleh Presiden Jokowi tanpa mempertimbangkan permasalahan substansi yang harus dibenahi dalam menghadapi banjir rob yang terjadi di pesisir Jakarta Utara. Pada 2015, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menandatangani nota kesepahaman/memorandum of understanding (MoU) antara Indonesia, Korea Selatan, dan Belanda terkait proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) ini.

Pada 2019, MoU tersebut juga telah diperbarui oleh Indonesia dan Belanda. Belanda bertugas mencari dana, Korea Selatan bertugas merancang teknis proyek. Nilai investasinya mencapai Rp 5,677 triliun, sedangkan total proyeksi kebutuhan pendanaan hingga NCICD selesai adalah Rp 500 triliun.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Susan Herawati, rencana ambisius tersebut kembali menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah masih terjebak dalam solusi palsu. Masyarakat pesisir teluk Jakarta tidak membutuhkan tanggul laut raksasa yang akan menutup akses nelayan terhadap ruang produksinya, yaitu laut. Proyek ambisius ini hanya memperlihatkan ke publik bahwa ini adalah proyek “betonisasi teluk Jakarta”. “Seharusnya dengan besarnya anggaran yang akan dikeluarkan untuk proyek ini, dapat digunakan untuk peningkatan kapasitas masyarakat pesisir, pembenahan alat produksi, penataan pemukiman nelayan sesuai kebutuhan nelayan, serta memperbaiki ekosistem mangrove di Indonesia,” kata Susan dalam rilisnya, Jumat (27/1/2023).

Pusat Data dan Informasi Kiara (2023) mencatat, hutan mangrove merupakan pelindung alamiah kawasan pesisir. Hutan mengrave di berbagai tempat terbukti dapat mereduksi ancaman gelombang tinggi. “Berdasarkan kajian yang telah kami lakukan, hutan mangrove lebih aman sebagai benteng alami pesisir karena fungsi alaminya yang mampu mereduksi gelombang hingga mampu membentuk daratan baru.,” jelas Susan.

Selain alami, kata Susan, hutan mangrove juga lebih murah dan meminimalkan peminjaman utang Indonesia kepada negara lain dan/atau lembaga keuangan internasional. Susan menambahkan, ruang terbuka hijau semakin minim dikarenakan oleh alih fungsi untuk berbagai industri properti. “Alih fungsi lahan hijau tersebut telah menambah kerentanan dan risiko dari kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim dan pemanasan global,” kata Susan.

Seharusnya, lanjut Susan, aksi nyata penanaman mangrove menjadi momentum untuk kembali memperluas ruang terbuka hijau khususnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir. “Ini juga akan memberdayakan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut, sehingga akan meningkatkan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat untuk menjaga mangrove dan ekosistem di pesisir,” tegas Susan.

Ma Roejan