Sebut Hadiah Kain Tenun untuk Dapat Proyek, Ben Mboi Pun Pernah Terima Hadiah Kain Tenun Sumba
Apa yang membuat Ben Mboi menerima hadiah kain tenun Sumba pada tahun 1974? Ini ceritanya.
Di dalam buku biografinya, Ben Mboi menyebut banyak bupati yang menghadiahkan kain tenun NTT kepada para pejabat di Jakarta pada 1980-an. Oohya! Untuk lebih jelasnya baca ini ya: Hadiah Baju Batik yang Ditolak PM Malaysia, Hadiah Kain Tenun di Indonesia untuk Dapat Proyek.
Tapi ternyata, Ben Mboi juga pernah mengalami menerima hadiah kain tenun. Saat itu ia masih menjadi Kepala Dinas Kesehatan NTT pada 1970-an. Saat kunjungan dinas ke Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, ia mengoreksi desain gedung rumah sakit Kristen Protestan, RS Lindimara. Saat itu RS Lindimara sedang menjalani renovasi dengan anggaran dari Belanda. Koreksi ben Mboi dijalankan dengan setengah hati karena Ben Mboi adalah pemeluk Katolik.
Namun, beberapa bulankemudian setelah renovasi selesai, Bupati Sumba Timur dan Ketua Yayasan RS Lindimara beserta tokoh-tokoh gereja Sumba Timur menemuinya di Kupang. Mereka membawa kain tenun ikat dari Kaliuda, Sumba Timur.
“Ada ada Pak Bupati, datang malam-malam,” tanya Ben Mboi.
“Minta maaf, Pak Dokter, kami datang minta maaf.”
Ban Mboi pun bingung. Tapi setelah dijelaskan, ia baru mahfum. Mereka menceritakan, sponsor dari Belanda telah datang untuk mengaudit proyek renovasi rumah sakit itu. Mereka terkejut melihat desain yang modern, yang merupakan hasil koreksi Ben Mboi. Padahal saat itu, koreksi desain dari Ben Mboi itu dijalankan dengan setengah hati, karena kecurigaan bahwa Ben Mboi adalah pemeluk Katolik. “Kami curiga perintah Pak Dokter itu sebagai sentiment orang Katolik Flores kepada orang Protestan.” Demikian ben Mboi menerima jawaban dari rombongan yang dibawa Bupati Sumba Timur itu.
Atas prasangka itu, mereka datang untuk meminta maaf, dan menyerahkan kain tenun Kaliuda. “Minta maaf, Pak Dokter. Ini tanda mohon maaf kami.”
Itulah, kata ben Mboi, dalam buku biografinya, Ben Mboi, patologi sosial di NTT pada tahun 1974.
Priyantono Oemar