Lincak

Ini yang Membuat Kain Batik Diubah Menjadi Baju Batik, yang Menurut Anies Baswedan Melanggar Pakem

Batik dengan motif baru kini banyak diproduksi, sengaja didesain untuk baju (foto: priyantono oemar).
Batik dengan motif baru kini banyak diproduksi, sengaja didesain untuk baju (foto: priyantono oemar).

Kain batik tak lagi dipakai sebagai bawahan, industri batik pun terancam. Muncullah ide membuat kain batik menjadi baju batik.

Industri batik di Jawa maju karena kain batik dipakai dalam keseharian oleh laki-laki atau perempuan. Kain batik dipakai sebagai bawahan, baik oleh laki-laki maupun perempuan, dengan atasan beskap bagi laki-laki dan kebaya bagi perempuan. Beskap menggunakan bahan polos dan kebaya menggunakan bahan polos yang disulam. Jadi, batik tidak dikenal untuk dipakai sebagai atasan.

John Pemberton mencatat di bukunya, Jawa, Mangkunegara IV pernah memodernkan beskap Jawa dengan jas Eropa. Pada 1871 ia menggunting ekor rokkie Belanda --yaitu jas Eropa yang memiliki ekor memanjang di bagian belakang. Bawahan tetap kain batik, atasan beskap hasil modifikasi rokkie Belanda, sehingga memiliki ruang untuk menyelipkan keris di punggung.

Pada saat itu, celana pantalon sudah dikenal di lingkungan keraton. Gelombang perubahan terjadi di tahun-tahun berikitnya, terkait dengan pemakaian kain batik sebagai bawahan. Banyak yang menuntut diperbolehkan mengenakan celana sebagai pengganti kain batik. Pada Februari 1914, misalnya, guru-guru pribumi di Jawa Timur mengadakan rapat di Surabaya. Rapat digunakan untuk membahas tuntutan agar diperbolehkan mengenakan pakaian Eropa saat mengajar.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun, Bupati yang mengetahui rencana itu, seperti diberitakan oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 12-Februari 1914, menasihati agar tidak mengadopsi pakaian Eropa. Alasannya, karena pakaian Eropa tak bisa digunakan di masjid.

Pada Maret 1915, pegawai pribumi di kantor Pegadaian di Surabaya juga menuntut diperbolehkan mengenakan pakaian Eropa. Para pegawai pribumi di kantor Residen Surabaya juga melakukan hal yang sama. Pada masa itu pula, seperti diberitakan De Sumatra Post edisi 5 Maret 1914, ada surat undangan perkumpulan para mandor toko (pribumi) karena akan ada penjualan pakaian Eropa pada hari yang akan ditetapkan tanggalnya. Pakaian tersebut terdiri dari jas, celana panjang, sepatu atau sandal, dan topi berwarna hijau atau merah.

Tapi mereka diingatkan agar pakaian tidak dikenakan terlebih dulu begitu pakaian telah dibeli. Anjuran itu diberikan untuk mencegah munculnya ejekan. Memberikan bandingan, Sumatra Post menyebut di Deli para mandor pribumi sudah mengenakan pakaian Eropa tanpa harus ada surat edaran. “Namun masih sangat mudah untuk membedakan pribumi dari Eropa,” tulis Sumatra Post.

Sejak itu pula, keresahan pun mulai muncul ketika banyak orang Indonesia yang sudah mengenakan pakaian Eropa. Di satu sisi, seperti yang disorot oleh koran Surakarta, De Nieuwe Vorstenlanden edisi 7 Januari 1916, tukang jahit baju kebanjiran order, di sisi lain produsen batik resah karena penjualan berkurang.

Oohya! Baca juga: Baju Batik, Kata Anies Baswedan Melanggar Pakem, Diserang Ruhut Sitompul. Apa Maksudnya?

Kain batik biasa dipakai sebagai bawahan dalam pakaian Jawa, dengan cara dililitkan berkali-kali, dianggap tidak praktis. Anak-anak muda begitu tergiur pada kepraktisan pakaia Eropa. Mereka tak lagi membeli kain batik karena sudah menggantikannya dengan celana panjang, tak memikirkan bakal hancurnya industri batik yang menghidupi puluhan ribu orang

Kekhawatiran ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir 1911 ketika Mangkunegara VI hendak memperkenalkan gaya rambut dan pakaian Eropa di wilayahnya. Dalam pertemuan dengan pejabat utamanya, Mangkunegara VI memutuskan bahwa setiap pejabat, sejauh dia tidak keberatan, harus mengadopsi potongan rambut pendek gaya Eropa. Namun, untuk pakaian Eropa tidak akan segera diperkenalkan. “Antara lain karena kerugian yang sangat besar akan menimpa industri batik Solo. Oleh karena itu, pergantian pakaian akan dilakukan secara bertahap,” tulis Het Vaderland edisi 27 Desember 1911.

Pada 1928, Jong Java Cabang Magelang membahas ancaman pakaian Eropa. Bahasan dimulai dengan menegaskan keinginan kembali mengenakan pakaian Jawa, karena pakaian Jawa mempromosikan seni dan industri Jawa. Sementara pakaian Eropa akan membawa “bangsa Indonesia kita” mengalami kehancuran.

“Maka, demi kebangsaan dan seni, simpan pakaian Eropa kita,” ujar pemrasaran seperti dilaporkan De Locomotief edisi 15 Februari 1928, tanpa menyebutkan nama pemrasaran. Empat peserta pun dengan nada yang sama keberatan dengan pendapat pemrasaran. Menurut mereka, pemrasaran telah melupakan kehiegenisan, kepraktisan, dan keekonomisan pakaian Eropa yang tak dimiliki pakaian Jawa.

Mengenakan pakaian tradisional berikut blangkon, para pemuda Jawa memperlihatkan ketenangan khas bangsawan Jawa dalam penampilan mereka. Inilah yang membuat EFE Douwes pada 1912 menganjurkan agar anggota Boedi Oetomo tidak memakainya saat mengadakan pertemuan. Pelan-pelan, jas, celana, dan dasi menggantikan kain, beskap, dan blangkon mereka.

Saat Kongres Pemuda Indonesia Pertama 1926, mereka yang hadir sudah mengenakan jas dan celana. Para pemudinya masih mengenakan kain dan kebaya.

Priyantono Oemar