Cerita tentang Koran yang Dipersonalisasi, Tahap Awal Menuju Digital. Republika
Koran Republika bermigrasi dari cetak ke digital.
Ketika Pascal Chesnais dengan tim peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, memperkenalkan layanan berita “The Freshman Fishwrap” pada 1994, Republika baru berumur setahun. “The Freshman Fishwrap” menjadi “koran” yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna.
Pembaca menjadi penjaga gerbangnya, pengendalinya. Jika ia menginginkan cerita yang ia butuhkan, ia tinggal meminta kepada The Freshman Fishwrap untuk menyediakannya agar dikirimkan kepadanya. Artinya, dia tak memerlukan cerita yang tidak ia inginkan dan The Freshman Fishwrap tidak akan mengirimkan cerita yang tidak diperlukan pembacanya.
Republika saat itu hadir untuk menyembulkan suara-suara yang sebelumnya tidak memiliki saluran. Belum sampai pada langkah personalisasi dengan menyediakan apa yang diinginkan pembaca, tetapi berhasil menyajikan apa yang diinginkan oleh publik yang suaranya cukup lama terbungkam. Ini terbukti dari sambutan yang luar biasa terhadap kehadiran Republika yang tampil dengan kepeloporannya dalam gaya penulisan berita dan desain halaman yang berbeda dengan koran-koran yang sudah ada. Lalu pada 1997 juga memelopori koran cetak jarak jauh dan pada 2000-an tampil dengan kepeloporan iklan jaket.
Hingga pada 1995, Republika memberanikan diri menjadi pelopor tampil di internet lewat Republika.co.id, tapi baru sebatas memindahkan isi koran yang terbit pagi hari. Dengan cara ini, pembaca di luar negeri bisa menikmati isi Republika, tanpa harus menunggu kiriman fisiknya yang baru datang beberapa hari kemudian. Beberapa lembaga di luar negeri, seperti kampus, mendapat kiriman fisik Republika. Pernah ada profesor dari Italia, mengirim surat elektronik, mengoreksi kesalahan judul di Republika.co.id. Profesor ini mengaku rajin membaca Republika.co.id yang masih berupa tulisan-tulisan dari koran Republika.
Sebelum peluncuran Republika.co.id pada 17 Agustus 1995, malam harinya tim Republika harus memberikan penjelasan kepada Presiden Soeharto. Soehartolah yang akan meresmikan peluncuran Republika.co.id. Pakar internet ITB saat itu Onno Purbo bersama timnya mendampingi Parni Hadi, pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksi Republika. Ketika melihat alat yang bisa digunakan untuk menggerakkan kursor komputer, Soeharto bertanya mengenai nama dan kegunaan benda itu. Onno Purbo menjawab mouse, yang lalu ditimpali oleh Soeharto, “Oh tetikus.”
Saat itu, peluncuran Republika.co.id belum ditujukan untuk menyampaikan berita secepat mungkin kepada pembaca, tidak perlu menunggu esok hari ketika koran yang dilanggan tiba di rumah pelanggan. Beberapa tahun setelah detik.com diluncurkan pada Juli 1998, Republika.co.id masih tetap menjalankan pola lama, memindahkan produk jurnalistik versi cetak ke versi daring. Pada pertengahan dekade 2.000-an, Republika.co.id mulai membuat langkah baru seperti yang telah dilakukan detik.com agar pembaca tidak perlu menunggu besok hari untuk mendapatkan berita terkini.
Nicolas Negroponte, dalam bukunya berjudul Being Digital, menyoroti praktik yang dilakukan The Freshman Fishwrap, kendati ia tidak menyebut nama. Ia menyinggung informasi penting yang bercampur dengan informasi tak penting mengenai kenalan/orang dekat. Lalu ia membandingkan dengan layanan berita yang dipersonalisasi seperti The Freshman Fishwrap. Ternyata, yang disukai publik adalah koran yang dipersonalisasi seperti layanan berita The Freshman Fishwrap itu.
Analisis Cass Sunstein di buku Republic.com juga sejalan dengan Negroponte: “Pasar berita, hiburan, dan informasi akhirnya disempurnakan. Konsumen dapat melihat dengan tepat apa yang mereka inginkan. Ketika kekuatan untuk menyaring tidak terbatas, orang dapat memutuskan sebelumnya dan dengan akurasi yang sempurna, mengenai apa yang akan dan tidak akan mereka temui. Mereka dapat merancang sesuatu yang sangat mirip dengan dunia komunikasi yang mereka pilih sendiri."
Tapi Sunstein menggarisbawahi bahaya besar di balik koran yang dipersonalisasi ini karena berubah menjadi ruang gema. Di Indonesia, bahaya itu baru muncul pada 2014. Yaitu, pendirian seseorang menjadi semakin ekstrem berkat informasi yang dipersonalisasi itu. Mereka hanya akan mencari informasi yang sesuai kebutuhannya, informasi yang meneguhkan pendapatnya, tidak peduli apakah informasi itu akurat atau tidak.
Sunstein menggambarkan bahaya itu berdasarkan eksperimen yang kemudian ia bukukan pada 2005 dalam judul Infotopia. Ia bersama timnya mengundang dua komunitas warga Colorado: liberal dan konservatif. Di sebuah kampus, mereka mendiskusikan tiga topik politik yang memecah belah: pemanasan global, tindakan afirmatif, dan hak-hak sipil. Masing-masing kelompok memiliki kecenderungan kuat menjadi terpolarisasi. Yang liberal menjadi lebih liberal, yang konservatif menjadi semakin konservatif.
Di era digital yang dimaksud dengan koran yang dipersonalisasi tentu saja bukan koran cetak, melainkan koran digital yang mewujud dalam portal-portal berita. Ia menggema ke orang-orang yang memiliki kebutuhan yang sesuai dengan isi berita itu lewat agregator. Sekarang tak perlu lagi berinisiatif meminta layanan berita, karena algoritma sudah mengidentifikasi minat kita melalui data perilaku digital kita. Maka, Google akan mengirimkan berbagai hal sesuai minat kita yang tercatat secara digital.
Maka, di orde ini, tak ada lagi pengendalian media oleh negara sepeti di masa kolonial hingga Orde Baru. Di masa Orde Baru, pers diarahkan untuk mendukung pembangunan, sehingga pers harus sehat, bebas tapi bertanggung jawab, menyebarkan informasi obyektif. Pers di Indonesia yang disebut pers pancasila, juga mendapat mandat dari Orde Baru untuk menjalankan kontrol sosial, tapi diberi embel-embel di belakangnya: menjalankan kontrol sosial secara konstruktif. Demikian antara lain yang tertuang dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang diterangkan Presiden Soeharto dalam Pidato Laporan Tahunan di Depan Sidang DPR pada 16 Agustus 1983.
Ketika portal-portal berita diisi oleh bukan wartawan, melainkan oleh pembuat konten pemburu Google Adsense, maka pelatihan jurnalistik tak lagi seperti dulu. Ketika jurnalistik sedang tumbuh di Indonesia, kursus diberikan kepada calon wartawan. Karena pers dan wartawan dianggap sebagai pengawal pendapat umum, karena pers dan wartawan adalah wajah bangsa, maka pelatihan jurnalistik adalah mengasah pikiran.
Kursus Jurnalistik yang diadakan oleh Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi) pada 1930-an materinya terdiri dari Jurnalistik (Parada Harahap), Perusahaan Surat Kabar (M Tbrani), Ekonomi (Sumanang), Kebebasan Pers den Delik Pers (Moh Yamin), Tata Negara (Djody Suromataram), Ekonomi Geografi (Wilopo), Bahasa Indonesia (SM Zain), Tipografi (K St Iskandar).
Apa kira-kira yang akan menjadi kepeloporan Republika di dunia digital untuk mengimbangi kepeloporan Republika di dunia cetak?
Oohya! Jangan lupa baca juga: Menyambut Republika Cetak dan Republika Digital
Priyantono Oemar
Sumber: Republika edisi Ahad (18/12/2022), terbit Sabtu (17/12/2022).