Dengan Pinang Sirih, Perbincangan di Papua Menjadi Sangat Mengasyikkan
Pinang sirih perlu tersedia saat berbincang dengan masyarakat di Papua. Bagaimana cara memakannya?
Pada Festival Gambut di Jambi pada 2016, saya bertemu dengan rombongan perempuan Papua yang didampingi oleh Naomi Marasian dari Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PtPPMA) Jayapura. Mereka membawa buang pinang yang besar-besar.
“Ini buah pinang sini. Di Papua kecil-kecil,” kata Rosmina Yesukamon, perempuan dari Kampung Mamay, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, sambil mengunyah pinang sirih.
Saya mencoba makan pinang sirih pada 2010 di Manokwari, tetapi pusing. Bagi masyakarat Papua tentu saja tidak. Dalam sehari mereka bisa makan pinang sirih berkali-kali.
Di Kampung Kambala, Kabupaten Kaimana, pada 2019, Maulud Sawoka menjelaskan, pinang sirih merupakan bahan untuk memulai perbincangan. Sambil mengunyah pinang sirih, perbincangan menjadi akrab. “Gigit pinang dulu, lalu sirih untuk melembutkan. Kampur untuk menyedapkan. Warna jadi merah, jadi rasa enak,” jelas Maulud yang juga ketua Badan Perwakilan Kampung (Baperkam) Kambala itu.
Bermodal panduan dari Maulud itu, saya mencoba lagi makan pinang sirih. Tapi kali ini pinang kering.
Di Kambala, pinang disebut buekara, dari bahasa Medewana. Sirih disebut kakinya, dan kapur disebut rowuroa. Jika ada rokok atau tembakau, lelaki Papua juga merokok. Rokok/tembakau disebut tabakora. Kopi juag menjadi sajian bagi tamu. Kopi disebut kofiria. Tabakora dan dan kofiria sepertinya mendapat pengaruh dari bahasa Belanda: Tabak dan koffie.
Oohya! Karena pinang sirih adalah bahan perbincangan, maka selama perjalanan Ekspedisi Mangrove, tim logistik ekspedisi selalu menyediakan pinang sirih kapur sebelum turun dari kapal Phinisi menuju kampung-kampung yang akan disinggahi. Di lincak samping rumah kepala kampung, kami berbincang asyik dengan Maulud Sawoka yang pintar melontarkan mop-mop Papua. Di Kambala, lincak disebut para-para.
Priyantono Oemar