Pitan

Untuk Apa Sultan Agung Buatkan Orang Kalang Permukiman? Sebelumnya Mereka Tinggal di Hutan

Kayu jati diangkut pedati di hutan jati di Randublatung, dekat Grobogan. Mengambil kayu dulu pejerjaan orang Kalang yang tinggal di hutan. Mengapa Sultan Agung membuatkan permukiman untuk mereka?

Di Jawa ada kelompok masyarakat yang disebut sebagai orang Kalang. Mereka hidup di tengah hutan yang berprofesi sebagai tukang kayu yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah undagi.

Sudah ada sejak abad ini ke-8, pada masa Sultan Agung Mataram mereka dibuatkan permukiman. Tujuannya agar mereka tidak berpindah-pindah tinggal di hutan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Permukiman itu dibangun pada 1636. Lokasinya ada di dalam dan di luar ibu kota Mataram.

Oohya! Baca juga ya:

OPM Injak-Injak Nama Presiden yang Ada di Keset di Pintu Markas di Hutan Papua

Selama abad ke-8 hungga ke-15, mereka tunggal berpindah-pindah di tengah hutan. Meski mengasingkan diri, mereka berknteraksi juga dengan masyarakat luar hutan.

Kemahiran mereka mengolah berbagai peralatan dari kayu dibutuhkan oleh masyarakat di luar kelompok mereka. Dalam perkembangannya, wilayah jelajah mereka mskin berkurang, setelah terjadi pembabatan hutan untuk berbagai keperluan.

Hutan di wilayah pesisir semakin terbuka setelah diperlukan banyak kayu untuk membuat kapal. Maka mereka yang pelan-pelan semakin masuk ke dalam hutan skhirnya ke luar hutan juga setelah hutan semakin berkurang.

Sultan Agung memahami kesulitan mereka sehingga membuatkan permukiman. Kampung mereka disebut Kalangan atau Pekalangan.

Oohya! Baca juga ya:

Prajurit Pakubuwono I Sudah Ikat Tombak, Kenapa akan Serang Lagi Sunan Amral?

Di antara mereka ada juga yang dijadikan sebagai abdi dalem di keraton. Sebagai abdi dalem, tugasnya membangun rumah, masjid, mrmbuat gerobak pedati, dan sebagainya.

Dengan tugas itu, maka mereka juga harus mencari kayu jati di hutan. Lalu membawanya keluar hutan untuk dipakai sebagai bahan berbagai peralatan dan bangunan.

Sebelum digunakan, kayu-kayu itu dikumpulkan di alun-alun. Kayu-kayu itu kemudian mereka olah sesuai kebutuhan.

Tapi di lingkungan masyarakat keraton saat itu, keberadaan orang Kalang dianggap hina. Meski sudah dibuatkan perkampungan sejak zaman Sultan Agung, mereka masih biasa berpindah-pindah.

Mereka bongkar rumah mereka, lalu diangkut dengan gerobak pedati, yaitu gerobak yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Peralatan untuk mengolah katu juga mereka bawa pindah ke permukiman baru.

Pada masa Amangkurat I, orang-orang Kalang tercatat bermukim di Jipang dan Lamongan. Pada masa Amangkurat II, 7.000 orang Kalang yang menjadi tanggung jawab Tumenggung Sosrowijoyo. Mereka tidak lagi tinggal di hutan.

Oohya! Baca juga ya:

Tak Hafal 12 Nama Murid Yesus Kristus, Winona Araminta Dihukum Lari 12 Putaran, Eh, Sang Guru Malah Masuk Islam

Sosrowijoyo memiliki tugas memelihara konpleks keraton. Di bawah Sosrowijoyo, orang-orang Kalang itu bejerja menelihara kompleks keraton Kartosuro.

Ketika Mataram dibagi dua menjadi Yogyakarta dan Surakarta, orang Kalang juga dibagi dua. Yogyakarta dapat 3.000 orang Kalang, Surakarta juga mendapat 3.000 orang Kalang.

Pada awal-awal mereka dibuatkan permukiman, Sultan agung melalukannya dengan setengah memaksa. Jika tidak, mereka tak akan pindah dari hutan.

"Sangat mungkin hal itu dilakukan untuk memudhkan pengawasan dan juga untuk menghubungi mereka jika diperlukan," ujar Agus Aris Munandar.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Tuha Kalang, karya Agus Aris Munandar, Aditya Revianur, dan Deny Yudo Wahyudi (2018)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]